Opini  

NADA ETNIK KOOPEN IJEN

Oleh Yono Ndoyit

“Tujuan seni bukanlah untuk menunjukkan penampilan suatu benda, tetapi menunjukkan makna yang ada di dalamnya,” quote Aristoteles yang tiba-tiba muncul saat mengedit video sederhana pertunjukan musik dari kelompok musik Duo Etnicholic di aplikasi Canva. Aplikasi yang seolah aksi cepat tanggap untuk merespon pertunjukan dengan sedikit “urun” memperpanjang tulisan ini.

Tak seperti hari biasa, Kamis malam (07/07/2022), Koopen Ijen bernuansa lain dengan menggelar pertunjukan musik etnik dari kelompok musik Duo Etnicholic yang dimotori Redy dan Anggar.

Kopi Kopen Ijen yang lokasinya diapit dua “prapatan” jalan yang di masa kolonial dikenal sebagai kawasan Bergen Buurt – kawasan dengan nama jalan gunung-gunung – boleh dibilang sebagai tempat ideal yang mempresentasikan wadah perjumpaan di pusat kota. Perempatan jalan yang bisa saja diasosiasikan sebagai jalan menuju perjumpaan.

Perempatan itu juga yang menjadi alasan Redy dan memilih Koopen sebagai salah satu tempat yang dipilihnya, di tengah jadwal tour Nandur Kamulyan mereka yang telah padat. “Malang adalah kota perjumpaan. Segala etnis ada di sini. Dan perempatan jalan adalah salah satu simbol perjumpaan,” ucap Redy saat ngopi bareng di Koopen Klojen, beberapa hari sebelum pertunjukan digelar.

“Pertunjukan yang sedikit melebar dari sasaran,” begitu kesan tak penting yang muncul ketika melihat poster pertunjukan mereka sebelum acara digelar. Nandur Kamulyan yang bisa diterjemahkan sebagai menanam kebaikan. Jelas, Kopi Koopen Ijen bukan tempat hunian bagi warga kampung seperti yang nampak dalam poster gelaran. Meski demikian, tak ada nilai menyimpang yang pantas dirisaukan ketika ada kelompok musik yang menanamkan nilai-nilai kebaikan di suatu tempat, apalagi di kedai kopi seperti Koopen Ijen yang berada di sekitar perempatan jalan.

Selain sebagai hiburan, musik bagi Duo Etnicholic merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk berkomunikasi atau alat penyampai pesan pada khalayak lewat lirik lagu pada tiap baitnya. Syair-syair dengan makna kebaikan yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat untuk kembali mengingatkan untuk hidup damai, saling membantu, gotong royong, saling menghargai, saling mengasihi, saling peduli kepada sesama, kepada tetangga, kepada alam dan kepada makhluk hidup lainnya.

Tiga belas lagu dibawakan mereka malam itu yang beberapa diantaranya dalam lirik bahasa daerah. Lagu Hijau Lestari, lagu yang pernah menyabet penghargaan Sopravista International Festivals yang diumumkan di Italia pada 23 Desember 2020 serta dua komposisi baru dengan lirik berlatar sejarah berjudul Singgasana Singhasari dan Dinoyo Rytem juga sempat mereka perdengarkan. Nampak sekali, hubungan Redy dengan Almarhum Leo Kristi dan Trie Utami mempengaruhi komposisi Duo Etnicholic. “Trie Utami adalah penyanyi idolaku,” kata Anggar yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai guru kesenian di SMA, di sela pertunjukannya.

“Meski membawa warna musik yang kurang populer, namun pertunjukan ini mendapat cukup apresiasi dari pengunjung Koopen,” ucap Alfian seusai pertunjukan, menanggapi antusiasme dari penonton yang makin malam semakin ramai. Alfian merupakan penikmat dan pengamat musik yang bersemangat mengikuti perkembangan musik di Malang, yang bersedia datang sebelum pertunjukan digelar. “Suara Anggar terdengar solid. Penampilannya apik, sekalipun tanpa ada tambahan pertunjukan video maping,” imbuhnya. Alfian juga berharap, penampilan selanjutnya dari Duo Etnicholic agar lebih mempertimbangkan kelengkapan soundnya agar lebih sempurna. Harapan yang kemudian diamini Redy.

Penampilan Anggar yang semasa jadi mahasiswi aktif di UKM Tari Universitas Negeri Malang ini memang cukup menarik, yang menjadi bonus pertunjukan tersendiri. Staminanya bagus. Sambil bernyanyi, tubuhnya terus bergerak layaknya seorang penari sepanjang satu setengah jam pertunjukan. Di ujung gelaran, dalam lagu yang berjudul Dendang Melayu, dia mengajak beberapa penonton untuk bergotong bersama, termasuk Ipong yang pemilik Koopen – mungkin juga, pertunjukan ini dimaksudkan Ipong sebagai bagian dari rangkaian ulang tahunnya hehe.

Demikian cara Duo Etnicholic untuk mendorong pembangunan berkelanjutan adalah melalui industri kreatif dengan menciptakan album musik yang berisikan komposisi nusantara, mulai dari komposisi musik Aceh hingga Sulawesi dengan lirik yang menyiratkan tentang budaya suatu daerah serta ajakan kebaikan.

Dalam referensinya, seperti yang dilansir dari website Duo Etnicholic, mereka menyatakan;
Saat ini, kita hidup dalam suatu abad yang dikenal sebagai zaman pembangunan (the age of development). Zaman di saat suatu gagasan mampu mendominasi dan mempengaruhi pemikiran bangsa-bangsa secara global. Istilah pembangunan (development) kini telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua Negara, khususnya Dunia Ketiga (Fakih, 1996). Bahkan dewasa ini aneka ragam pendekatan pembangunan banyak dimunculkan sebagai pemikiran untuk mencapai dan mewujudkan tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Huraerah, 2016).

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah proposal pembangunan bangsa-bangsa yang merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari proposal pembangunan terdahulu yang terkenal dengan nama Millenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium.

Dengan mengusung tema “Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”, SDGs yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target merupakan rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030), guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai Tujuan dan Target SDGs (SDGs Indonesia, 2017). Mengacu pada SDGs ke 11, yaitu Kota dan komunitas yang berkelanjutan. Duo Etnicholic, mencoba untuk melibatkan diri dan turut serta melokalkan SDGs melalui jalur musik sebagai landasan budaya. Hal ini untuk menjawab poin 4 dari Tujuan SDGs 11, yaitu: Menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan natural dunia. Budaya adalah siapa kita dan apa yang membentuk identitas kita. Pembangunan tidak dapat berkelanjutan tanpa memasukkan kebudayaan dalam prosesnya.

UNESCO memastikan bahwa budaya memiliki peran penting dalam sebagian besar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk yang berfokus pada pendidikan berkualitas, kota berkelanjutan, lingkungan, pertumbuhan ekonomi, konsumsi berkelanjutan dan pola produksi, masyarakat yang damai dan inklusif, kesetaraan gender dan keamanan pangan (kemdikbud.go.id). Dari warisan budaya hingga industri budaya dan industri kreatif, kebudayaan menjadi penyokong dan pendorong pembangunan berkelanjutan baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

“Ini bagian dari silahturahmi bunyi kami,” ucap Redy, menutup pertunjukannya.

Salam baik dan sehat selalu,
Malang,10 Juli 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *