Opini  

Pancasila: Falsafah Kemanusiaan Yang Tidak Berjenis Kelamin


Oleh: Fanda Puspitasari
(Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI)

Setiap masyarakat yang mencintai Indonesia, tentu akan menginsafi Pancasila sebagai ideologi negara tanpa keraguan. Pancasila sebagai ideologi telah menjadi kesepakatan final sejak penetapannya hingga hari ini. Pancasila tidak hanya menjadi dasar dari kekuatan dan keutuhan bangsa, namun juga sebagai pedoman dan nyawa kehidupan bagi segenap rakyat Indonesia. Mengutip istilah Dr. Asmaeny Azis dalam bukunya ‘Dasar Negara’, menyebutkan bahwa Pancasila sebagai Volkgeist (jiwa bangsa).

Istilah tersebut dapat dimaknai bahwa Pancasila tidak sempit hanya diinsafi pada kesepakatan bersama yang absolut akan eksistensinya sebagai ideologi negara. Namun juga patut diinsafi pada sudut esensi, yang kemudian dijadikan sebagai sebuah kesadaran bersama akan penerapan dan pengamalannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasalnya untuk menjadi bangsa yang besar, kuat dan berkarakter, kita tidak bisa menempatkan Pancasila sebatas sebagai perlambangan negara yang dikuduskan dan dibela mati-matian semata. Sejatinya, Pancasila hendaknya dijiwai sebagai sebuah nilai yang bersifat prinsipil untuk dijadikan landasan dalam pembangunan peradaban bangsa.

Pancasila sebagai ideologi dan pedoman/jiwa bangsa, mempunyai peranan penting dalam menentukan arah, tujuan, cita-cita, serta masa depan Bangsa Indonesia. Sebab, nilai-nilai dalam Pancasila dapat dijadikan sebagai pondasi moral kebangsaan (moral nation) dan sebagai moral kenegaraan (moral state). Keutamaan Pancasila terletak pada nilai yang bernafaskan kemerdekaan, kedaulatan, demokrasi, kemanusiaan, keadilan, emansipasi (kesetaraan dan pembebasan), kesejahteraan, persatuan, gotong royong, ketuhanan serta nilai luhur lainnya, telah termaktub di dalam Pancasila.

Tiap sila dalam Pancasila terdiri dari nilai dan norma luhur yang ada dalam segala bentuk kehidupan dan telah menjadi jiwa bagi rakyat Indonesia. Baik negara maupun warga negara memiliki peran dan tanggungjawab untuk menghormati serta mengamalkan nilai luhur tersebut. Hakikat dari nilai Pancasila adalah untuk diaktivasi dalam segala konteks kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi serta dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas.

Aktivasi nilai Pancasila dalam konteks kehidupan bernegara menjadi pilar penting dalam upaya mewujudkan negara Indonesia yang sesuai dengan cita-cita Pancasila. Hal ini karena, negara merupakan instrumen bagi terciptanya kemaslahatan masyarakat. Untuk itu, kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh penyelenggara negara harus berlandaskan pada nilai dan norma Pancasila. Tanpa adanya nilai Pancasila yang diintegrasikan kedalam setiap kebijakan dan regulasi negara, akan menyebabkan terjadinya ketidaksehaluan antara pengelolaan negara dengan cita-cita yang termaktub dalam Pancasila.

Pancasila lahir tidak untuk membuat kesenjangan, melainkan untuk menyamaratakan semua masyarakat. Pancasila hadir untuk hajat hidup bangsa, dimana tiap silanya memiliki wajah keberpihakan kepada seluruh masyarakat, dengan tidak adanya diskriminasi serta pengecualian kepada kelompok tertentu. Lalu, jika kita berkenan menelisik secara objektif, kita akan menjumpai makna dari kelima sila tersebut secara nyata menghargai dan menghormati keberadaan perempuan. Artinya, setiap sila dalam Pancasila memiliki keberpihakan kepada perempuan. Salah satu wujud dari keberpihakan tersebut yakni adanya perspektif kesadaran gender yang terejawantahkan ke dalam lima silanya. Hal ini dapat dimaknai bahwa Pancasila adalah ideologi yang bersifat inklusif.

Pancasila sebagai ideologi yang bersifat inklusif merupakan sumber inspirasi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkesadaran gender serta berperspektif keadilan dalam relasi sosialnya. Pada tubuh Pancasila sangat erat akan amanat kemerdekaan, kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Untuk itu, nilai tersebut seharusnya dapat menjadi asas bagi kemaslahatan perempuan. Sebab realitanya, mayoritas perempuan Indonesia masih mengalami kondisi yang kurang baik didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sejalan dengan hal tersebut, nilai kemerdekaan yang menjadi nafas Pancasila tidak hanya dangkal dimaknai sebagai kemerdekaan dari kolonialisme. Kemerdekaan dalam Pancasila, juga mengandung nilai kemerdekaan bagi setiap rakyat dari ketidakadilan dan penindasan dalam segala lini kehidupan. Kemerdekaan yang hikmat merupakan kemerdekaan yang berperadaban dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Maksudnya, tiada penindasan diantara manusia, tiada diskriminasi sesama manusia, merdeka pikirannya, batinnya dan tindakannya. Sederhananya, kemerdekaan dalam Pancasila adalah kemerdekaan yang memerdekakan. Demikian halnya, pemenuhan hak/kewajiban kepada perempuan merupakan tindakan yang berbanding lurus dengan nilai kemerdekaan dalam Pancasila. Artinya, pemenuhan hak/kewajiban dalam rangka mewujudkan kemerdekaan bagi perempuan merupakan konsekuensi logis dari adanya upaya untuk mewujudkan kemerdekaan dalam nafas Pancasila.

Pancasila dengan kompilasi nilai luhurnya menghendaki perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan, peran dan perlakuan yang sama dalam pemenuhan hak serta kewajibannya sebagai rakyat Indonesia. Sebab itu, seluruh masyarakat niscaya akan berada pada dua posisi yang harus dilakukan, yaitu sebagai subjek dan juga sebagai objek. Subjek berarti orang yang mengamalkan nilai Pancasila. Sedangkan objek berarti orang yang dikenakan atau diperlakukan dengan nilai Pancasila. Baik itu pada posisi sebagai subjek maupun sebagai objek, dalam implementasi nilai Pancasila tidak sepatutnya terdapat pemisah ataupun pembeda. Perempuan pun berhak dan harus menjadi subjek ataupun objek dalam implementasi nilai Pancasila. Persoalan pengabdian kepada tanah air, perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam peranannya. Masalah pemenuhan hak, perempuan patut mendapatkan perlakuan yang sama adilnya dengan laki-laki.

Disamping itu, inklusifitas Pancasila membuat tiap silanya mampu mengakomodir pemenuhan hak yang harus diterima serta kewajiban yang harus ditunaikan oleh perempuan sebagai warga negara. Kelima sila Pancasila tersebut sejatinya memiliki perspektif kesadaran gender dan keberpihakan kepada perempuan. Bung Karno, sebagai penggali dan penggagas Pancasila, menyertakan penjelasan pada kuliah umum bersesi tentang Pancasila yang dilaksanakan tahun 1958 di Istana Negara. Bahwa setiap sila dalam Pancasila merupakan nilai yang saling menjiwai dan saling berkelindan. Bung Karno pun menegaskan bahwa persoalan perempuan sesungguhnya ada di dalam nilai setiap sila Pancasila. Untuk itu, tidak ada pembeda atau pengecualian kepada kelompok tertentu dalam jiwa Pancasila. Tiap rakyat Indonesia berhak mendapat kemaslahatan dari nilai ideologi negara tersebut.

Wajah ‘keramahan’ Pancasila terhadap perempuan dalam pembahasan ini akan lebih diulas pada sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua merupakan sila yang menjunjung tinggi perikemanusiaan. Berdasarkan Tap MPR No I/MPR/2003 mengenai 45 butir Pancasila, salah satu butir pada sila kedua mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi bagi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku; keturunan; agama; kepercayaan; jenis kelamin; kedudukan sosial; warna kulit dan sebagainya.

Butir sila kedua tersebut sejalan dengan yang disampaikan Bung Karno dalam kuliah umumnya di Istana Negara pada 22 Juli 1958. Bung Karno menerangkan perikemanusiaan dalam lambang rantai yang merupakan simbol sila kedua pada Garuda Pancasila. Bung mengatakan bahwa lambang rantai dengan bentuk bundar dan persegi yang saling bertautan merupakan simbol dari perwujudan dua jenis manusia yakni perempuan dan laki-laki yang saling terikat, tidak terputus, dan saling melengkapi. Pada konteks kemanusiaan, hubungan perempuan dan laki-laki harus dimaknai sebagai hubungan yang setara sebagai manusia serta tidak ada penindasan kepada yang lainnya. Perempuan dan laki-laki adalah ikatan yang tidak terpisahkan, serta harus saling bekerjasama dan saling menguatkan dalam membangun peradaban bangsa.

Pun dalam penerapan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa kemanusiaan tidak memiliki wajah, jenis, dan golongan tertentu. Kemanusiaan harus berwajah universal dan inklusif terhadap seluruh masyarakat, termasuk perempuan. Baik dalam pemenuhan hak/kewajiban sebagai warga negara, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Termasuk dalam mendapatkan hak sipilnya sebagai individu, warga negara, dan sebagai manusia, perempuan patut mendapatkan keadilan dan perlakuan yang beradab. Hal tersebut dapat berupa menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam segala sektor, mengentaskan perempuan dari kungkungan subordinasi yang merugikan, serta mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh kekerasan dan penindasan lainnya.

Mengakhiri segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan menjadi agenda penting yang patut dikedepankan. Sebab, penderitaan yang dialami perempuan akibat kekerasan, akan menjauhkan ia dari kesejahteraan. Sedangkan kesejahteraan perempuan merupakan syarat mutlak terwujudnya kesejahteraan masa depan peradaban bangsa. Jika perempuan mengalami penderitaan, masa depan bangsa akan dirundung penderitaan pula. Artinya, masa depan sebuah peradaban, sangat bergantung dari kondisi yang dialami perempuan. Sebab, perempuan memiliki kedudukan penting sebagai perawat dan pemelihara peradaban bangsa.

Selain itu, Perempuan merupakan separuh dari kekuatan bangsa. Jika separuh dari kekuatan tersebut mengalami keterbelakangan akibat konstruksi sosial yang membatasi dan memasung kehidupan serta potensi perempuan, maka peradaban bangsa ini tidak akan menemui kejayaannya. Cita-cita Pancasila tidak akan sampai pada perikehidupan yang sejahtera dan beradab. Perempuan sebagai separuh dari kekuatan bangsa, patut diberikan ruang untuk terlibat pada pemenuhan hak dan kewajibannya, dengan diintegrasikan kedalam proses pembangunan bangsa dalam segala sektor.

Pernyataan Olive Scheiner (aktivis perempuan Eropa) penting untuk dijadikan perenungan kita bersama dalam memikirkan nasib bangsa ini. Petikan dari bukunya yang berjudul Drie Dromen in de Woestijn menyebutkan bahwa “tiada masyarakat satu pun dapat berkemajuan, jika laki-laki atau perempuan, diantara salah satu tidak menyertakan yang lain. Karenanya, janganlah masyarakat laki-laki mengira bahwa ia dapat maju, jika tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula”. Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh rakyat di dalamnya. Rakyat sebagai syarat mutlak terbentuknya suatu negara, niscaya menjadi pelaku utama atas nasib negara tersebut. Begitupun dengan nasib dan masa depan negara ini. Kemajuannya berada di pundak seluruh rakyat Indonesia, termasuk perempuan.

Sebagaimana simbol negara Indonesia yaitu Burung Garuda, sebagai perlambang akan relasi dan kemitraan yang paripurna antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki dalam simbol Garuda dapat diartikan sebagai sepasang sayap. Sedangkan peradaban bangsa serta negara ini sebagai badannya. Burung Garuda tidak akan mampu terbang kepada kesejahteraan dan kemerdekaan yang sejati jika salah satu sayapnya patah atau mengalami penderitaan. Namun, jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah Garuda setinggi-tingginya. Membawa badan Garuda sebagai perwujudan dari peradaban bangsa, menuju cita-cita luhur Pancasila.

“Atas Nama Kemanusiaan, Keadilan dan Kemerdekaan Tidak Memiliki Jenis Kelamin”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *