FILM ARKEOLOGI TARI

Indonewsdaily.com – Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) menghadirkan Dance Film berjudul Mahendrapravarta sebagai karya kolektif yang diputar perdana di salah satu bioskop di Plaza Sudirman, Jakarta (3/09/2022).

Berikut siaran pers dari BWCF yang dibagikan Seno Joko Suyono, pendiri dan kurator BWCF, kepada kami.

Koreografi, Sinema dan Arkeologi

Beberapa tahun terakhir di Indonesia wacana tentang Dance Film berkembang. Dance Film adalah bagian tak terpisahkan dari seni tari. Dance Film merupakan “panggung” baru bagi koreografer. Dalam sebuah Dance Film: gerak, bloking-bloking dan dramaturgi tari diambil dari sudut-sudut tafsir sinematik. Dance Film walhasil membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam dunia tari.

BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) bermaksud menyajikan sebuah Dance Film sederhana yang berkaitan dengan dunia arkeologi. Arkeologi sendiri bukanlah dunia asing bagi tari kontemporer Indonesia. Banyak penari dan empu gerak seperti almarhum Suprapto Suryodarmo berproses dari candi ke candi bahkan di lokasi-lokasi peninggalan megalitik. Sardono W Kusumo juga kerap melakukan eksplorasi di berbagai candi di Indonesia sampai kuil-kuil Jepang.

Dance Film Mahendraparvata produksi BWCF ini menyajikan karya tari dengan latar situs situs arkeologis di kawasan perbukitan Phnom Kulen (Kamboja) dan kawasan Borobudur. Ditarikan oleh dua penari Kamboja dan dua penari Jawa, karya ini memetaforakan adanya hubungan Jawa kuno dan Kamboja kuno lewat perjalanan sepasang topeng.

Dalam studi arkeologi, hubungan Jawa dan Kamboja di masa kuno dapat diketahui dari terjemahan prasasti Sdok Kak Thom yang ditemukan di perbatasan Thailand dan Kamboja. Prasasti ini menjelaskan bahwa pada abad 8-9 M terdapat hubungan antara Jayawarman II, penguasa Kamboja dan Jawa. Prasasti Sdok Kak Thom ditulis pada tahun 974 Saka atau tahun 1052 Masehi. Terdiri dari 340 baris (194 baris ber bahasa Sanskrit, 146 baris berbahasa Khmer kuno).

Prasasti ini pernah diterjemahkan oleh George Cœdès, arkeolog Prancis yang khusus melakukan penelitian di wilayah Asia Tenggara. Dalam hasil terjemahan Coedes disebut Raja Jayawarman II, penguasa baru di Kamboja untuk beberapa lama tinggal di Jawa. Dan setiba di kawasan Phnom Kulen dia melakukan ritual keagamaan untuk menahbiskan diri sebagai Chakravartin penguasa jagad yang tidak tergantung lagi pada Jawa. Jayawarman II menjadi raja pertama Kekaisaran Khmer pada tahun 802. Di bukit Phnom Kulen itu kemudian Jayawarman II mendirikan kota suci bernama Mahendraparvata.

Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan arkeolog Asia Tenggara mengenai kata Jawa yang ada di Prasasti Sdok Kak Thom. Apakah Jawa yang tertulis di situ betul merupakan Jawa di Indonesia atau yang dimaksud Champa (Wilayah Vietnam sekarang). Mereka yang menganggap kata Jawa di prasasti itu betul menunjuk Jawa di Indonesia, memperkirakan selama Jayawarman II berada di Jawa – ia berada dalam lingkungan istana Syailendra. Dan maka dari itu diperkirakan sempat melihat proses pembangunan Borobudur.

Nama Mahendraparvata berarti “Gunung Indra Agung”. Berasal dari kata Sansekerta Mahendra (Indra Agung, gelar dewa Hindu Indra). Mahendrapavarta menjadi ibukota Khmer pertama sebelum dipindahkan oleh Jayavarman II ke Hariharalaya. Situs arkeologis Mahendraparvata sendiri selama ratusan tahun runtuh dan tersembunyi di hutan belantara Phnom Kulen. Lokasi-lokasi situs yang diduga berkaitan dengan Mahendraparvata ini pada tahun 2012 diteliti kembali oleh ekspedisi arkeologi yang dipimpin oleh arkeolog Jean-Baptiste Chevance dan Damian Evans pada tahun 2012 dengan bantuan teknologi pemindaian laser udara yang disebut LIDAR.

Dance Film Mahendraparvata ini tidak berpretensi menjadi film dokumenter. Lewat metafora perjalanan sepasang topeng gaib yang terombang ambing dari sungai di Kamboja sampai Jawa, karya ini hanya ingin mengalegorikan bahwa hubungan Kamboja dan Jawa sudah sedemikian lama. (YN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *