Soal Rangkap Jabatan, GMNI Minta Penataan Regulasi Agar BUMN Sehat

Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino.

Indonewsdaily.com, Jakarta – Pasca polemik harta jumbo pejabat pajak Kementerian Keuangan. Kini publik diramaikan dengan beredarnya rilis dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) yang mencatat ada 39 pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang rangkap jabatan. Mayoritas pejabat ini merupakan eselon I dan II. Kebanyakan dari mereka merangkap sebagai komisaris maupun wakil komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyatakan bahwa aturan tentang rangkap jabatan masih tumpang tindih dan sumir. Menurut Arjuna, masih banyak peraturan turunan seperti UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara belum mengatur secara eksplisit larangan tentang rangkap jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik baik sebagai komisaris ataupun wakil komisaris dalam Badan Usaha Milik Negara.

“Aturan soal rangkap jabatan memang masih tumpah tindih dan sumir. Tidak tegas”, ungkap Arjuna

Penugasan pejabat publik sebagai komisaris/pengawas BUMN selama ini dilakukan untuk pengawasan kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan dan pengawasan BUMN. Namun menurut Arjuna alasan tersebut perlu ditinjau ulang efektivitasnya. Pasalnya, menurut Arjuna rangkap jabatan berpotensi terjadinya Dis-kekuasaan, yaitu pada saat seseorang memegang dan menjalankan lebih dari satu jabatan, maka tidak menutup kemungkinan pemangku jabatan tersebut tidak akan maksimal dalam menjalankan salah satu jabatan yang dimilikinya sehingga memicu terjadinya kelalaian.

“Dis-kekuasaan yang seringkali terjadi yaitu tidak maksimalnya partisipasi seseorang yang merangkap jabatan dalam pengambilan keputusan dan rapat-rapat dewan komisaris dan rapat gabungan dengan dewan direksi. Sederhananya, tingkat kehadiran dalam Rapat Dewan Komisaris dan rapat gabungan antara Dewan Komisaris dengan Dewan Direksi sangat rendah”, tambah Arjuna

Kedua, rangkap jabatan menurut Arjuna bisa memicu adanya benturan kepentingan dan malkekuasaan. Artinya ketika beberapa jabatan yang dimilikinya memiliki hubungan yang rentan, maka jabatan tersebut dapat disalahgunakan demi mencapai tujuan atau kepentingan tertentu. Fenomena ini tentu rentan melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“Potensi konflik kepentingan jika dibiarkan bukan tidak mungkin dapat memunculkan kasus-kasus korupsi. Akuntabilitas menjadi pertaruhan. Selain itu, mereka berpotensi menerima penghasilan ganda”, ujar Arjuna

Ketiga, menurut Arjuna adanya rangkap jabatan di BUMN juga melanggar prinsip Good Corporate Governance (GCG). GCG merupakan prinsip dan acuan dalam mengendalikan perusahaan agar terjadinya check and balances antara para pemangku kepentingan (stakeholders). Pentingnya penerapan GCG ini pada prinsipnya untuk mengatur sekaligus mencegah terjadinya kesalahan dan benturan kepentingan yang dapat menimbulkan risiko kerugian perusahaan, terutama bagi Direksi dan Komisaris sebagai organ Perseroan yang mengambil dan menentukan arah kebijakan perusahaan (BUMN).

“Rangkap jabatan pejabat publik membuat mereka tidak bekerja maksimal sebagai dewan komisaris (dekom) di BUMN. Terlihat seperti jabatan sampingan. Padahal peran dekom dalam BUMN sangat penting untuk mewujudkan Good Corporate Governance. Merekalah pusat ketahanan dan/atau kesuksesan korporasi. Peran dan/atau tanggung jawab untuk mengawasi dan memberikan advice kepada manajemen, utamanya terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi strategi; memastikan akuntabilitas; menjamin transparansi dan disclosure; serta menjalankan shareholders voice function suatu perusahaan, semua ada dalam “genggaman” dekom”, jelas Arjuna

Untuk itu, GMNI meminta pemerintah untuk menerbitkan Perpres yang mengatur dan memperjelas batasan dan kriteria penempatan Pejabat struktural/fungsional aktif dalam Komisaris BUMN dengan pertimbangan kompetensi dan bebas konflik kepentingan. Kedua, pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Dewas atau Dekom BUMN yang merangkap jabatan. Ketiga, sinkronisasi aturan terkait standar dan prosedur pengangkatan dewan komisaris sesuai dengan UU Pelayanan Publik.

“Aturan rangkap jabatan perlu ada sinkronisasi aturan terutama harus merujuk pada UU Pelayanan Publik. Toh pada hakikatnya pengelolaan BUMN ditujukan untuk pelayanan publik yang maksimal dan agar BUMN bisa berjalan menjadi korporasi yang sehat”, tutup Arjuna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *