Taman Nasional Komodo Dan Perlawanan Rakyat

Balduinus Ventura | Mahasiswa Asal Manggarai Barat

Indonewsdaily.com, Opini – Taman Nasional Komodo merupakan salah satu objek wisata terseksi dimata wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain keseksiannya yang mampu memikat para wisatawan, tempat ini juga memiliki implikasi dan kontribusi positif baik dalam aspek historis, sosiologis, juga dapat mendongkrak kondisi ekonomi warga Pulau Komodo khususnya dan Manggarai Barat pada umumnya.

Secara ekonomis keberadaan Taman Nasional Komodo, menghadirkan paradigma baru dan pola aktivitas ekonomis masyarakat Manggarai Barat. Hampir mayoritas masyarakat yang semula fokus pada sektor pertaniaan, perkebunan dan sejenisnya kemudiaan bergeser secara signifikan untuk menjadi pekerja disektor wisata. Hal ini berefek pada ketergantungan masyarakat terhadap pariwisata semakin hari makin meningkat, mulai dari pekerja hotel, pelaku usaha, praktisi wisata dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan pariwisata.

Secara logika ekonomis, idealnya pasca penetapan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu objek wisata strategis dunia, mampu merubah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Tetapi kondisi yang terjadi dilapangan hanya kelompok minoritas saja yang menikmati output dari pariwisata tersebut. Eksistensi masyarakat lokal hanya sekedar buruh kasar bukan pula meningkatkan kualitas hidup melainkan sekedar bertahan hidup.

Kaum minoritas dalam hal ini investor yang bergerak di Industri pariwisata membangun hotel megah, restoran dan industri wisata lainnya sementara pada saat yang sama mayoritas masyarakat lokal yang kehidupannya bergantung pada sektor pariwisata tak lain hanya sekedar menikmati sisa/ampas dari para elit yang menjadikan objek wisata komodo sebagai ladang akumulatif dan berbisnis untuk menumpuk kekayaan.

Komodo (varanus komodoensis) sebagai objek yang sexy dan cantik dimata publik internasional, pejabat dan pemodal baik pada level daerah maupun nasional menghalalkan segala cara untuk terus mencabik-cabik keseksiannya agar yang berhak menikmati keseksiaanya hanya orang-orang berduit. Banyak masyarakat lokal yang punya hasrat dan merasa penasaran dengan pulau komodo, panorama alamnya, sensasi habitat dan habitusnya tapi mereka dijegal secara sistemik oleh pemerintah dan negara untuk mengunjunginya.

Masyarakat lokal hanya menikmati komodo dari baliho promotif yang terpampang dijalan dan patung komodo yang menghiasi objek-objek publik di wajah kota Labuan Bajo. Mayoritas masyarakat lokal dihina haknya dan dibunuh hasratnya untuk menikmati alam komodo hanya karena faktor ekonomi(duit).

Mahalnya akses dan fasilitas untuk mengunjungi pulau komodo membuat masyarakat merasa terasingkan dari buminya sendiri. Mereka tidak punya income/pemasukan yang cukup untuk mengunjungi pulau komodo, mereka bekerja disektor wisata sekedar bertahan hidup dan pada saat yang sama, negara atau pemerintah mengabaikan keresahan dan keluh kesa dari rakyatnya sendiri

Masalah kenaikan tiket di pulau komodo hari ini sebagai cerminan ketidakberpihakan pemerintah dalam menjawab persoalan dan keresahan yang dialami oleh masyarakat. Kenaikan tiket/tarif masuk ke Pulau Komodo sebagai output dari kebijakan negara baik melalui tangan kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif, kementrian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) maupun melalui pemerintah provinsi sebagai bentuk penghinaan terhadap publik lebih khususnya Manggarai Barat.

Kebijakan kenaikan tiket tersebut sebagai satu-kesatuan upaya sistematis negara menjadi cara berfikir dan bertidak sebagai pasar yang berorientasi pada akumulasi duit sambil meghisap masyarakat kecil (kapitalistik). Hal ini sangat  bertentangan dan diluar kewajaran kondisi sosial dan ekonomi  masyarakat yang ada di Nusa Tenggara Timur khususnya di Manggarai Barat.

Bahwa dengan tiket masuk yang  mahal  dan begitu fantastis secara tidak langsung pemerintah berupaya mengingkirkan masyarakat lokal. Dampak lain dari kenaikan tiket ke Pulau Komodo mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo dan dengan sendirinya pelaku wisata, pelaku usaha berdampak buruk, kreatifitas masyarakat berkurang serta harga barang hasil produksi masyarakat juga tidak stabil dan berefek besar pada masyarakat kecil.

Cara berfikir akumulatif dengan karakter bisnisnya pemerintah mengistimewakan orang asing, orang berduit dan pebisnis wisata untuk berkunjung kepulau komodo sementara keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat lokal dibalik industri wisata yang megah dan penataan kota yang cantik banyak masyarakat miskin dan melarat. Kalau kita mundur kebelakang, sebelum kenaikan tarif tiket masuk ke Pulau Komodo mengalami kenaikan, bahkan mayoritas masyarakat juga merasa keberatan akibat mahalnya akses kepulau komodo.

Akan tetapi, pemerintah daerah tidak punya konsep dan kebijakan  untuk bagaimana memfasilitasi masyarakat lokal lebih khusus yang kelas menengah kebawa sehingga sebagai masyarat local mereka seharusnya  memahami dan mengetahui langsung cerita historis, habitus Komodo serta keindahan alamnya mendahului wistawan asing. Pemerintah sudah berparadigma kapitalistik dengan mengutamakan orang-orang berduit ketimbang kearifan lokal, kesejahteraan masyarakat lokal dan proporsionalitas hak untuk berwisata antara masyarakat local dengan asing.

Dari sini kita bisa memahami bahwa kenaikan harga tiket di Pulau Komodo bukan untuk menjawab persoalan rakyat melainkan bentuk pengangkangan terhadap publik. Pemerintah tidak punya konsistensi dan konsepsi yang matang dalam mewujudkan keberpihakannya terhadap masyarakat lokal.

Pariwisata hanya dinikmati para industrialis pariwisata, Investor dan para penguasa selaku pengambil kebijakan sementara rakyat hanya menikmati ampas dan sampah dari slogan kota pariwisata dunia. Banyak masyarakat bekerja pada level perbudakan di Labuan Bajo sementara pemerintah tidak punya kebijakan untuk merubah kondisi hidup mereka.

Pemerintah juga gagal untuk memformulasikan regulasi untuk mempermudah akses masyarakat lokal karena mereka sudah bersengkokol dan berselingkuh di kamar penghisap darah masyarakat yang berkedok investor Pariwisata. Hal ini juga berdampak pada pelaku usaha, praktisi wisata hingga usaha-usaha lain yang merugikan masyarat akibat memudarnya citra pariwisata menjadi ladang bisnis para mafia-mafia yang berselimut dibalik kekuasaan dengan mengeksploitas keseksiaan komodo dan habitatnya

Aksi demonstrasi terkait penolakan kenaikan harga tiket di Labuan Bajo sebenarnya bukan aksi pertama, pasalnya beberapa bulan sebelumnya aktivis lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pernah melakukan demonstrasi terkait penentangan kebijakan pemerintah terkait pembangunan jurasi park di Pulau Rinca yang secara historis dan faktual tempat tersebut bagian dari habitatnya komodo dan tempat untuk mencari mangsanya.

Selain itu ada aksi penolakan relokasi warga komodo oleh sejumlah aktivis dan intelektual karena kebijakan relokasi merupakan bentuk pembunuhan terhadap komodo secara tidak langsung, massa lagi-lagi mengepung kantor bupati dan dewan perwakilan rakyat Manggarai Barat karena pemerintah dianggap absurd dengan kebijakan konyolnya .Pembangunan jurasi park dan relokasi warga komodo, ditolak masyarakat karena  potensialitas bisa merusak keasliaan dan keindahan alam  pulau rinca akibat kehadiran investor apalagi bukan untuk masyarakat kecil.

Dalam konteks relokasi, aktivis dan masyarakat sipil mengganggap bahwa relokasi sebagai bentuk pelecehan terkait sejarah komodo. Secara histori bahwa komodo dan masyarakat komodo adalah satu kesatuan dan tak boleh dipisahkan.Artinya bahwa penolakan relokasi dan pembangunan jurasi park ditolak oleh aktivis, masyarakat sipil dan praktisi wisata karena dianggap menggadaikan komodo dan masyarakat komodo ketangan pasar/ investor dan menghancurkan masa depan warga dan komodo.Atas dasar gelombang perlawanan itulah pemerintah secara samar-samar membatalkan kebijakan itu sampai sekarang.

Gelombang perlawanan tersebut merupakan rentetan perjuangan yang lahir atas kesadaran masyarakat untuk terus meledakan bom perlawanan terhadap kekuasaan yang terbelenggu dalam ketek kapitalisme dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan terkhusus  pariwisata yang tidak  berpihak pada masyarakat. Ini juga referensi sekaligus tugas sejarah untuk terus dirawat dan disuarakan oleh masyarakat Manggarai Barat agar Taman Nasional Komodo tidak jatuh ditangan para mafia-mafia yang berkedok investasi dengan menyelundupkan kepentingan monopoli, akumulasi dan meliberalisir wisata komodo sehingga masyarakat Manggarai Barat tidak hanya jadi budak di tananahnya sendiri.

Perlawanan masyarakat Manggarai Barat terhadap kebijakan kenaikan harga tiket ke Pulau Komodo sebagai bentuk akumulasi dari keresahan, berbagai persoalan dan kekacauaan manajemen pariwisata yang tidak berpihak pada masyarakat local.

Selain itu, pemogokan kerja dan demonstrasi hari demi hari oleh aktivis pro rakyat  sebagai peringatan terakhir untuk pemerintah daerah Manggarai Barat untuk segera membatalkan semua jenis pengkhianatan terhadap masyarakat, alam dan habitat Komodo. Mulai dari pembatalan kenaikan tiket tarif masuk di Pulau Komodo, Isu-isu pembangunan dipulau komodo dan sekitarnya yang berpotensi mengancam keselamatan  lingkungan untuk menjaga keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan pariwisata yang berkeadilan serta memeperhatiakan aspek kesejahteraan untuk masyarakat  di Manggarai Barat lebih khusus yang bergantung pada sector wisata. Jadi perlu komitmen dan konsistensi dari pemerintah terkhusus pemerintah daerah untuk menolak dan membatalkan  kenaikan tiket di Taman Nasional Komodo.

Penulis: Balduinus Ventura | Mahasiswa Asal Manggarai Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *