Opini  

The Way De Walk

Indonewsdaily.com – The Way We Walk, judul album dari grup band legendaris Genesis, “slogan” yang menarik juga untuk diangkat, “melu urun” memperluas zebra cross yang lagi ramai jadi pijakan dalam banyak tulisan. Bacaan yang seolah membandingkan fenomena aktual Citayam Fashion Week dengan Abbey Road-nya The Beatles.

Siapa dari kawan-kawan Duo Etnicholic (DE) yang tak pernah dengar nama Beatles dan Genesis?

Fenomena yang cukup menarik perhatian, bagaimana mereka berjalan dari pinggiran hingga membawa dampak luas. Mereka yang kerap dikatakan sebagai orang terpinggirkan dan berpendidikan rendah, namun mampu menggiring kecenderungan di pusat-pusat kota. Perkembangan media sosial memang amat memungkinkan terjadinya arus-arus baru yang muncul dari beragam latarbelakang. Lepas dari kontroversinya, mereka berhasil menjadi trend setter.

Ada relevansinya, ketika penulis beberapa kali mengikuti perjalanan Konser Kampung dari kelompok musik Duo Etnicholic, yang kemudian mengkaitkan “prosesnya” dengan judul dari Genesis tersebut. The Way We Walk, yang kalau boleh diterjemahkan secara bebas adalah “cara kami berjalan”. Jika muda-mudi Citayam menggunakan zebra cross sebagai ruang ekspresi mereka, maka “halaman-halaman kampung” jadi sasaran panggung yang utama bagi konser Duo Etnicholic. Meski dalam perkembangannya, DE tak menampik undangan untuk mempresentasikan karyanya di hadapan mantan Wapres Yusuf Kalla, beberapa menteri dan gubernur, juga para petinggi partai, seperti yang terjadi kemarin di Universitas Brawijaya (25/07/2022).

Tak hanya melulu fokus pada perkara venue, melihat pertunjukan DE, kita seolah merasa digiring dalam kesan, “bagaimana mereka berjalan (konser)” sambil Nandur Kamulyan dari halaman-halaman kampung. Nandur Kamulyan yang bisa saja diartikan sebagai menanam kebaikan. Mark Twain pernah mengatakan, “Kebaikan adalah bahasa dimana yang tuli bisa mendengar dan yang buta bisa melihat.” Mirip dengan pepatah yang familiar terdengar bagi penikmat musik, “musik adalah bahasa yang universal.” Kebaikan dan musik sebagai alat komunikasi yang diharap mudah menular.

Dan bagaimana cara DE berjalan, sedikit banyak telah cukup efektif memberikan inspirasi. Setidaknya, itu kesan yang penulis tangkap saat melihat penampilannya di Omah Mantri Jabung. Sebuah pertunjukan dengan suasana “intimated” yang diharapkan mampu memberikan inspirasi dan membuka kesadaran baru dalam berkesenian sebagai representasi laku budaya bagi warga kampung.

“Melihat pertunjukan Duo Etnicholic, kami sebagai orang kampung merasa banyak terinspirasi dan merasa berbangga untuk berkampung, karena kampung ternyata mampu menjadi magnet,” kata Iroel, dari Komunitas Gubuk Baca di Jabung, dalam sesi diskusi seusai pertunjukan Duo Etnicholic di Omah Mantri Jabung (19/07/2022). “Sebenarnya, kita juga mampu berekspresi semacam ini meski mungkin tak seapik DE. Potensi dari kita cukup. Kami bersyukur, DE menyisipkan agenda untuk konser di kampung kami. Pertunjukan ini cukup menggetarkan dan mampu menggugah dari tidur panjang kami, agar kami lebih banyak berbuat kebaikan untuk kampung kami,” sambung Iroel yang malam itu mengagumi permainan drum dari Oceb dan olah vokal Anggar yang menurut beberapa kawan, karakter suaranya mirip dengan penyanyi idolanya, Trie Utami.

Dalam sesi diskusi, Redy Eko Prasetyo, inisiator dari DE beranggapan, “Berkesenian itu selayaknya harus berdampak baik pada lingkungan sekitar, tidak hanya art to art.” Itulah salah satu nilai yang menjadi alasan, mengapa DE mengadakan pertunjukan sederhana dengan bergerilya dari kampung ke kampung. Anggapan yang mengingatkan penulis pada tulisan lama di Kompas.com (18/10/2009), “Dalam estetika Jawa, seni itu disebut kagunan. Artinya, seni itu harus berguna. Apa pun yang dilakukan seniman seharusnya punya manfaat bagi seniman sendiri dan masyarakat,” kata Moelyono, perupa besar yang dikenal akan gagasan Seni Rupa Penyadaran.

Bagi DE, halaman-halaman kampung yang menjadi panggungnya adalah ruang alternatif bagi arena perjumpaan. Ruang perjumpaan yang kemudian dipersamakan layaknya sebuah “punden”. Ruang sosial yang menurut Dwi Cahyono, sejarawan dan arkeolog Malang, dikatakan sebagai simbol penanda bagi sebuah ikatan kebersamaan dan kesadaran berentitas, latar mikro yang bisa juga berfungsi menjadi ajang awal beragam kegiatan.

Dan tak harus hijrah, mungkin saja, suatu saat nanti akan ada peristiwa muncul dari kampung-kampung yang kemudian mampu mewarnai wajah ibukota.

Demikian, the way DE walk.

 

Salam baik dan sehat selalu,
Yono Ndoyit, Desa Sekarpuro 26 Juli 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *