Pandemic Fatigue; Viral yang Berbahaya Bukan Hanya Virus.

Mental Health.

Pandemic Fatigue; viral yang berbahaya bukan hanya virus.

Saya menerima request dari seorang teman baik untuk menulis tentang Pandemic Fatigue, yang Maret lalu baru dijelaskan oleh WHO. Sebelum itu, saya akan berbagi kisah-kisah yang akan relevan dengan situasi global saat ini.

Ibu saya seorang dokter, orang tua tunggal, membesarkan saya di Jakarta yang begitu terkenal kondisinya; panas, penuh polusi, macet, banjir, bising, dan sebagainya. Setiap hari selalu ada saja kecelakaan terjadi, saya harus duduk diam di balik bilik apotik untuk menunggu ibu yang sibuk di ruang gawat darurat. Di bilik apotik adalah lokasi paling higienis dan relatif ‘aman’ bagi anak usia 4 tahun untuk berkeliaran, baca buku, bermain boneka, menonton TVRI,  maupun tidur siang. Ya, saya memiliki memori yang kuat perihal ini.

Setiap kali kami pulang, kami harus cuci tangan di kran air halaman depan rumah sebelum masuk. Kadangkala, ibu langsung menyuruh kami lepas baju begitu pintu ruang tamu tertutup. Germophobia? Tidak juga. Ibu tidak keberatan saya bermain di lapangan bola berlumpur kala hujan. Walau saya mengidap asma akut, ibu mendukungi aktivitas yang saya minati, bahkan mengharuskan lebih aktif walau harus ekstra persiapan inhaler, ampul obat dan syringe. Tahun 80-90’an, belum ada alat nebulizer portable seperti saat ini. 

33 tahun terbiasa untuk bebersih diri sebelum masuk ke rumah, bahkan wajib pakai baju khusus tidur, baju rumah tidak selalu boleh langsung naik ke tempat tidur— baju rumah yang sempat dipakai berkebun pun tabu untuk dipakai saat akan tidur siang atau malam. Tahun 2019, saya menerapkan kedisiplinan ini dalam rumah tangga dan ini sangat berat hingga satu titik. Suami saya tidak terbiasa dengan ‘budaya’ Asia, tapi juga tidak sebebas kebiasaan banyak warga Amerika Serikat yang tetap pakai sepatu di dalam rumah, kamar tidur hingga ranjang, meskipun setelah bepergian ke tempat yang tidak tampak kotor.

Bagi orang Norwegia, mereka biasa copot sepatu di ‘hallway’ atau lorong. Sebuah konstruksi tempat tinggal yang tidak lazim bagi negara tropis, karena di situ lah area di mana empunya rumah atau tamu bisa melepaskan sepatu boots dan jaket musim dingin yang tebal dan berat sebelum masuk ke dalam rumah. Ketika saya dan suami tinggal sementara di Johor, Malaysia, hotel kami tidak punya hallway ini karena tipe studio apartment. Kami berdua jelas terbiasa untuk segera melepas sepatu dekat pintu masuk. 

Suatu hari, hujan deras jatuh di tengah perjalanan kami pulang ke hotel. HUJAN AIR HANGAT! — suami saya girang karena hari itu pertama kalinya merasakan hujan di wilayah tropis. Kami tidak punya payung, selesai makan siang, kami putuskan untuk lari pulang meskipun kebasahan daripada menunggu lama di depot. Suami, seperti anak kecil, menikmati hujan deras ini bahkan lompat ke genangan air. C’est La vie! Benar-benar riang.

Sesampainya di hotel saya langsung mandi dan keramas, tapi dia hanya ganti baju dan langsung rebahan di kasur. Saya sempat marah karena ia belum cuci tangan, muka, kaki. Ia sedang malas dengan kebiasaan bersih dengan yakin bahwa dia baik-baik saja, janji nanti pasti mandi sebelum tidur malam. Setiap rumah di Norwegia pasti punya shower air panas, dan biasanya di musim dingin banyak yang jarang mandi jika hanya di rumah. Mandi air hangat sebelum tidur adalah kebiasaan umum warga di sana, yang sesuai dengan kebiasaan bagaimana saya dibesarkan. 

Satu malam ini saja, saya penuhi permintaannya untuk ‘santai’ dan bermalas-malasan, menjadi orang yang tidak terlalu terpaku pada displin dan rutinitas, hingga… Pukul 23.10, sejam setelah kami keluar makan malam, saya melihat ada bercak dan pulau merah di betis kaki kiri suami.

HAHAHAHAHAHA—— dia melihat saya heran ketika saya terbahak-bahak.

Saya tanya; terasa gatal, tidak?— sambil menunjuk area belakang betisnya.

Dia tampak bingung saat saya sebut kata ‘panu’. 

Lalu saya bilang; You got FUNGAL INFECTION. aka, skin fungus!

Raut wajahnya berubah pucat drastis karena ia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, ia langsung lompat keluar kasur untuk mandi dan menggosok badan sementara saya masih menikmati tertawa terpingkal-pingkal. Ia panik hingga saya jelaskan bahwa panu bukan sesuatu yang mematikan dengan segera. Karena sudah hampir tengah malam, tidak ada apotik buka. Salep antifungal ini pastinya tersedia di apotik manapun di asia, tanpa perlu resep dokter— kata ibu saya, menenangkan kami.

Besok pagi nya kami harus jalan 1.5 kilometer ke pusat perbelanjaan, dimana ruko-ruko berjejer penuh sepanjang sungai menuju mall besar. Johor bukan kota yang ‘bersih’ secara keseluruhan. Masih banyak area slum, yang terutama banyak warung kaki lima, tenda malam, sampah bertumpuk dan sungai keruh yang bau. Mengingatkan saya pada pasar Ciputat, perbatasan Jakarta selatan dan Tangerang, yang hampir setiap hari saya lewati semasa kecil. 

2020 menjadi tahun dimana saya bisa mengatakan “aku gak salah, kan?” pada seorang sahabat perempuan yang sering mampir ke rumah di sela jam makan siang kantornya. Karena dekat, kadang ia butuh tidur siang dari lelahnya tugas administrasi— dan saya selalu punya baju khusus untuk dipinjamkan ke tamu jika butuh berbaring di futon. Bukan berarti saya germophobia, hanya memiliki standar higienitas cukup tinggi. Bukan pula saya tidak pernah makan jajanan tanpa absen cuci tangan, bukan berarti saya juga tidak pernah memungut kerupuk, keripik, jajan yang barusan jatuh ke lantai atau karpet—jika masih bisa dimakan.

Ibu saya juga kadang jajan makanan di pinggir jalan walau ujung-ujungnya kami diare bersama, bahkan sudah langganan tipes berkali-kali.

Kebersihan, baru terasa ekstrim di masa pandemi ini.

Kebiasaan hidup lebih bersih terasa menjadi ‘new normal’ yang melelahkan, menjenuhkan, karena sebelumnya kita, secara general dan global, terbiasa untuk mengambil jalan mudah, meremehkan dunia mikrobiologi.

Padahal, dunia bakteri dan virus masuk dalam kurikulum standar pendidikan anak-anak di banyak negara, untuk memahami penyakit-penyakit yang populer; TBC, HIV, berbagai STD, hingga Viral Hepatitis— yang ditujukan agar masa remaja dan dewasa manusia bisa mengurangi kasus-kasus ini.

Satu optimisme yang saya lihat dari pandemic covid-19 ini adalah; peningkatan standar kebersihan yang drastis di Indonesia hingga ke level warung dan pedagang kaki lima. Generasi berikutnya akan terbiasa untuk hidup bersih, baik ke diri sendiri maupun saat bertamu.

Sebagai ibu rumah tangga, apakah kita akan bisa selalu ingat untuk mengingatkan anak-anak kita cuci tangan sebelum makan?

Sebagai mahasiswa yang dikejar tugas akhir berlomba dengan janji temu dosen, apakah kita selalu bisa meluangkan waktu olahraga? 

Sebagai pekerja kantoran, paruh waktu, maupun pemilik usaha, apakah kita selalu bisa mengatur dan mengurus kebersihan diri, rumah, area bekerja dengan teliti setiap hari?

Di bulan Maret tahun 2020, Norwegia masih berada di musim dingin— walau salju mulai mencair, belum cukup hangat bagi orang-orang pergi piknik. di bulan Juni 2020, musim panas mulai bergejolak — suami saya dan rekan-rekannya sudah bisa tamasya ke kebun binatang bahkan WaterPark dengan tanpa pengunjung perlu tes PCR, Swab, bahkan tidak bermasker. Klub-klub olahraga sudah mulai ramai beraktivitas, sementara di Indonesia baru mengalami gelombang pertama.

Ketika aturan physical distancing di Norwegia dilonggarkan, suami saya sempat bergurau satir; Ada yang bikin peraturan kalau setiap orang harus jaga jarak minimal 2 meter, tapi setelah peraturan ini dicabut, kami bisa kembali ke situasi normal sebelum corona; 5 meter dari siapapun!

Saya terbahak-bahak karena kenyataannya, Norwegia sebagai negara sosialis, warganya lebih memiliki jiwa pancasila dibandingkan banyak orang Indonesia. Pertama, mereka mereka menjunjung hak asasi sangat tinggi, dan tidak akan pernah bertanya tentang religi. Kedua, sebagai contoh, ketika teman suami saya akan pindah apartemen, setidaknya 8 orang dari klub sepakbola ikut membantu mengemas dan mengangkut, meskipun diantara mereka tidak semua saling kenal. Contoh selanjutnya, banyak furnitur yang didonasikan, hingga kebutuhan bahan pokok yang sebelum kadaluarsa, didistribusikan pada yang memiliki penghasilan minimal. Ketika saya baru tiba, saya dan suami harus menjalani karantina di rumah selama 10 hari dan setiap 2 hari ada saja yang menjenguk kami untuk membawakan bahan pangan hingga selimut, jaket dan sweater— meskipun kami sudah punya.

Ketika negara-negara lain mulai panik akan pandemi, warga Norwegia yang sudah sadar diri akan kebersihan lingkungan tidak sulit untuk mengikuti aturan dan anjuran pemerintah untuk self-quarantine dan lockdown di awal 2020. Saya juga melihat teman-teman saya di Austria, Denmark, Finlandia, Swiss, Canada, sudah mulai bisa piknik dan hiking, bahkan camping— saat Indonesia baru saja merasakan covid-19 nyata.

Belum lagi orang-orang yang memborong masker, sembako, bahkan tissue toilet! 

Satu hal yang menyebabkan pandemic ini sulit berakhir bukan hanya virusnya, tapi unggahan di sosial media yang ambigu, negatif, provokatif, yang membuat kepanikan massal dan misleading dari kenyataan atau informasi yang seharusnya cukup’ untuk diketahui.

Ras manusia, selalu punya satu, dua, beberapa insan diantara umatnya, yang mampu menekan nurani untuk mengambil keuntungan dalam kesempitan. Bahkan melakukan tindak kriminal dengan dalih bertahan hidup. 

Ironisnya, justru ras manusia adalah mammalia yang memiliki Neocortex paling ‘tebal’ dan kompleks— jika dibandingakan kucing, anjing, atau lumba-lumba.

Neocortex di otak manusia lah yang memampukan manusia mengklaim rasnya sendiri sebagai makhluk berakal, berbudi, berempati, dengan menaikkan derajatnya dengan memisahkan diri dari hewan lain, termasuk primata. 

Oh, ya, monyet.

Gorilla, simpanse, hingga orangutan.

Orang Indonesia, mayoritas, akan merasa terhina jika diperbandingkan dengan primata-primata ini. Padahal, mungkin ada alasan tersendiri mengapa ras-ras primata lain berhenti berevolusi.

Neocortex dapat berfungsi sebagai ruang kognitif; kemampuan berfikir.

Kita mampu memahami persepsi keruangan, simbol-simbol hinga bahasa yang lebih kompleks dibandingkan erangan vokal seekor kukang. Kita bahkan mampu mempersepsi dari panca indera— merumuskan emosi yang bekerjasama dengan sistem limbik; seperti udara dingin malam gelap yang membangkitkan rasa takut dan tubuh kita akan lebih sensitif dan waspada terhadap bahaya meskipun karangan tahayul yang diyakini nyata.

Terlebih lagi, Neocortex membuat kita sadar akan lini waktu.

Ya, time-line kehidupan.

Kita akan menjadi was-was akan setiap tahun usia kita bertambah. 

Baru usia remaja, kok si anu sudah bisa dapat beasiswa?

Sudah umur kepala 4, kok dia masih cari kerja tetap?

Sudah usia 60-an, masih suka keluyuran?

Berbeda dengan kucing atau anjing yang hanya mengerti pagi menuju malam. Setiap hari terasa sama; eat, sleep, poop, repeat.

Inilah kenapa manusia membuat hewan-hewan jadi peliharaan. Secara tidak sadar, kita melihat siklus kehidupan dan keseharian mereka yang sederhana, yang sebenarnya kita idamkan; easy life & loved.

Anjing dan kucing, selalu berbahagia.

Asal kenyang dan tidak merasa terancam, mereka selalu berbahagia. 

Manusia, meskipun kenyang dan aman, masih punya keinginan yang tidak terhitung.

Di tahun 1996 saya mengalami depresi saat masa transisi masa kanak-kanak menuju remaja awal (pre-teen). Saya lari dari rumah, sepulang sekolah, menuju sebuah tempat yang tampaknya bebas konflik.

Sebuah Vihara, Avalokitesvara. 

Saya tidak akan pernah melupakan nama ini.

Seorang biksu sepuh, ramah, menyambut saya.

“ Saya ingin hidup bahagia!”— keluh saya.

Beliau tersenyum lembut dan bertanya, apa yang menyebabkan saya berpikir  bahwa saya tidak bahagia.

Saya bersikeras bahwa itulah yang saya rasakan; tidak bahagia, karena itu saya pasti sedang menderita.

Sang Biksu tidak menyangkal, hanya bertanya apakah saya ‘paham’ bedanya berpikir dan merasa. Saya sempat bingung dan kalut hingga batal kabur dari rumah. Esoknya saya langsung kembali ke vihara karena masih penasaran.

Tanpa basa-basi, penjelasannya membuat saya seakan mengalami  tamparan keras hingga jatuh, mati sesaat sebelum kemudian hidup lagi.

Saya memandang sampul majalah remaja yang dulu saya agungkan dan tidak lolos berlangganan, memandang tulisan; “trend bulan ini”.

“ Saya ingin seperti contoh ini, agar saya, mungkin, bisa merasa bahagia seperti senyum model dalam iklan ini.”

Biksu tua yang bijak telah menyadarkan bahwa ‘ingin’ adalah bentuk ego, yang tidak relevan dengan fakta yang ada.

Ibu, ada. Rumah, ada. Makanan, tersedia. Sekolah, bisa. Saya, secara fakta, sudah sejahtera!

Lalu saya berlatih meditasi, melihat ke masa lalu. Saya ingin Ibu saya selalu bisa meluangkan waktu setidaknya 1 jam setiap hari bersama saya. Tapi tanpa ia bekerja setiap hari di rumah sakit dan klinik yang berbeda, kami tidak akan kecukupan. 

Keinginan saya telah memasung kemampuan saya untuk merasa bahagia yang sesungguhnya dari apa yang ada; kemampuan bersyukur.

Banyak sekali unggahan mengenai hal-hal yang membahagiakan, dengan [subliminal message] pesan bawah sadar; jika kamu tidak melakukan atau memiliki ini, itu, sesuatu, kamu belum bahagia— atau kamu akan lebih bahagia. Sejak dulu, dan sekarang menjadi drastis.

“Kebahagiaan” menjadi nilai, standar ganda, komersialisasi, perang pendapat dan perspektif bagi banyak pengusaha untuk memasarkan jasa dan produknya.

Mencetuskan keingintahuan orang adalah pucuk senjata pemasaran. Mengalihkan perhatian dan pikiran dari kebutuhan esensi, mengaburkan batas kesadaran akan perbedaan atau batas dari keinginan dan kebutuhan— psikologi konsumen menjadi senjata terampuh di dunia industri.

Tahun 2003, di semester ketiga, saya sudah yakin akan mengajukan penelitian untuk skripsi dengan tema yang berguna untuk saya sendiri di masa depan, bukan hanya syarat kelulusan kuliah. Sebagai anak Jakarta, saya sudah terbiasa punya pengahasilan sampingan berjualan produk kecantikan, akhirnya saya tetapkan judul skripsi;

“ Perilaku konsumtif wanita dewasa awal terhadap produk kosmetik.” dengan metode penelitian ganda; kuantitatif dan kualitatif atas 100 orang subyek tes.

Hasil dari penelitian tersebut tidak hanya berupa buku hard-cover tersimpan di lemari, tapi pemahaman mengenai perilaku konsumtif manusia yang masih relevan hingga pendemic ini berjalan.

Saya tidak ‘yakin’, sepenuhnya, bahwa Pandemic Fatigue memang ada.

Manusia tidak lelah atau jenuh dengan virus dan penyakitnya saja.

Unggahan-unggahan di sosial media yang mencetuskan keinginan, keingintahuan orang lain untuk ikut mencoba memiliki sesuatu atau mengalami hal baru atau istimewa tapi susah terwujud karena batasan-batasan kegiatan selama pandemi— inilah yang sangat bisa memengaruhi kesehatan mental seseorang, dibandingkan nilai eksistensi dari virus covid-19 itu sendiri.

Pandemic ini membuat banyak orang malas tidak bisa lagi menyamankan diri. Kita tidak lagi bisa seenaknya sendiri!

Ketemu teman lama, tiba-tiba mengajaknya kongkow? 

Melewati rumah teman, lantas langsung mampir?

Sepulang sekolah lanjut bermain bola? 

Sepulang kerja bisa nongkrong di kafe atau karaoke?

Pergi ke konser musik? Festival? Pameran? Lomba dan kompetisi?

Kita tidak bisa segera menekan pandemi bukan karena tingkat berbahayanya  virus, tapi karena aktivitas warga negara Indonesia masih sangat konsumtif. Seperti yang saya pelajari saat menyusun skripsi, perilaku konsumtif masyarakat Indonesia sangat, sangat, tinggi.

Ketika warga negara-negara scandinavian mengangkat peraturan lockdown atau stay-at-home, banyak dari mereka yang beraktivitas olahraga ringan; hiking, berenang di danau atau sungai, berkemah, memancing, dan sebagainya. Mereka bahkan membawa bekal sendiri, dan tertib membuang sampah sesuai tipe jenis daur ulangnya. Sementara aktivitas wisata bagi mayoritas masyarakat Indonesia, lebih menuju konsumtif; kuliner, suvenir, fashion, swafoto dan sebagainya.

Contoh sederhana lainnya; IKEA. 

Ketika pertama kali dibuka di Tangerang, jutaan warga ibukota menyerbu berkunjung — bahkan untuk kuliner Swedish Meatball yang menurut desas-desus, sangat enak, relatif murah untuk porsi besar. Dalam sebulan pertama, sosial media banjir komentar bahwa makan di sana mahal dan aneh; pesan dalam antrian ala kantin, mencari tempat duduk sendiri, self-service cutleries, hingga ‘wajib membersihkan kembali area makan’ yang anda tempati. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa ‘membersihkan sendiri’ area makannya karena asumsi dan kebiasaan bahwa selalu ada orang yang dibayar untuk bekerja membersihkan semua. Di Filipina, membersihkan meja sendiri sudah menjadi kebiasaan di setiap tempat makan franchise besar, setidaknya menaruh tray tatakan makan mereka di buffet khusus— tidak sampai membuang sampah sisa makan, bahkan mengelap meja dan kursi.

Banyak, dari kita, masih manja.

Kita bukan lelah karena virus, kita lelah tidak bisa ‘memanjakan diri’ seperti dulu kala.

Saya masih ingat betul… banyak ‘teman’ sekolah yang secara halus, meminta ‘surat dokter’ dari Ibu saya, untuk bisa bolos kelas. Bahkan banyak juga kenalan yang tidak jarang mudah melontarkan alasan ‘ijin sakit’ dari hari kerja. Trik-trik ‘bolos’ sekolah, kuliah, kerja, selalu ada yang mencontohkan dan selalu ada yang ‘mengembangkan’ taktik-taktiknya.

Hal ini— cara-cara untuk mencurangi sebuah aturan demi kepentingan atau kenyamanan sendiri— juga bisa menular!

Menyamankan diri bukanlah hal yang salah, tapi kita tidak bisa mengelak bahwa ada saja yang selalu dengan sadar, berniat, berusaha, mengambil keuntungan diatas kesusahan orang lain. 

Mencoba mendapatkan keuntungan, bukan hal yang salah pula. Misal, seorang teman saya bekerja sebagai game developer, yang di masa pandemi ini memungkinkan baginya mendapatkan perhatian dari lebih banyak orang yang bosan di rumah. Keuntungan yang didapatkan, tidak dengan merugikan orang lain, bahkan menjadi mutual bagi gamers.

Norwegia memiliki hukum yang saklek dan hampir tidak mungkin dicurangi, misal; denda tinggi bagi siapapun yang menyelenggarakan pertemuan sosial bukan dalam rangka darurat, lebih dari 10 orang dalam satu ruangan atau rumah. Salah satu politisi yang cukup kaya, melanggar hal ini, membuat acara pesta makan siang bersama kolega— walau akhirnya ia memang dengan ‘senang hati “membayar” denda’ tersebut. Bahkan setiap tamu undangan pesta tersebut, baik sesama politisi dan selebriti, juga membayar denda tinggi.

Uang denda tersebut masuk ke kas negara, menjadi aset untuk kesejahteraan warga negara yang tingkat ekonominya tidak sebesar para politisi dan selebriti tersebut. Ini sebagai contoh bahwa transparansi hukum dan pengelolaan keuangan negara bisa berjalan baik meskipun didapatkan dari yang melanggar hukum.

Saya bukan pakar ekonomi, politik, sosial— tapi saya yakin bahwa kita bisa dan harus belajar lebih keras lagi untuk disiplin. 

Dengan mawas diri dan disiplin tinggi terhadap diri sendiri, kita akan lebih mudah menghadapi ‘keras’nya dunia nyata.

Bedakan antara keinginan yang timbul dari kebutuhan dengan keinginan yang muncul karena stimulan dari orang lain.

Tidak lagi merokok saat berkendara.

Tidak lagi makan cemilan atau minum sambil berjalan di kerumunan.

Selalu buang sampah dengan memisahkan mana organis, medis, daur ulang.

Tidak perlu panic-buying akan sesuatu.

Tidak mudah meneruskan berita atau informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya atau hoax

Dan banyak lainnya.

Di artikel selanjutnya, saya akan membahas lebih terinci mengenai Pandemic Fatigue dalam lingkup psikologi sosial; candu berkumpul.

Saya juga akan mengulas cara-cara kita bisa melewati Pandemic Fatigue dengan kesehatan mental yang selaras.

— Let.

————————————————————————————————

Lettisa D.S. Wardhani, S.Psi.

Lahir 14 Juni di Malang, besar di Jakarta, 2002 kembali ke Malang,

Alumni Universitas Negeri Malang, jurusan Psikologi.

Sebagai fotografer, mendirikan Let’s Photo studio dan juga bekerjasama dengan travel agencies dan hotel/resort di berbagai negara.

Menulis buku anak-anak, e-book version;

The Unlikely Friendship of An Egret and A Turte (book I & II).

Private counsellor dengan sistem janji temu fleksibel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *