Permendikbud 30, GMNI Menilai Perdebatan Pasal Persetujuan Salah Sasaran

Indonewsdaily.com, Jakarta – Wakil Ketua DPP GMNI, Fanda Puspitasari mengapresiasi upaya pemerintah untuk mengurangi potensi terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kampus melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30, Tahun 2021.

Permendikbud tersebut, lanjut Fanda adalah sebuah terobosan progresif untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini merupakan terobosan progresif sebagai upaya memerangi kekerasan seksual terutama di lingkup pendidikan tinggi.

“Permen ini sangat penting mengingat kita sedang mengalami darurat kekerasan seksual. berdasarkan survei Kemendikbud tahun 2020, tercatat 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi dilingkup Perguruan Tinggi,” ungkap Wakil Ketua DPP GMNI Fanda Puspitasari, Jumat (12/11/2021).

Terlebih, sebanyak 63 persen diantaranya memilih untuk diam dan tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual yang telah mereka alami.

“Permendikbud 30 sebagai sebuah sikap tegas dari Pemerintah dalam upaya mengurai persoalan-persoalan pelik mengenai kekerasan seksual tersebut. Namun demikian, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) harus tetap menjadi prioritas untuk disahkan,” tegasnya.

Alumni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut menerangkan, Permendikbud No. 30 ini baru akan bisa berjalan secara optimal apabila berjalan seiringan dengan RUU PKS.

Permendikbud No. 30 Tahun 2021 adalah upaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Bahwa segala perbuatan yang merendahkan martabat dan merenggut kemerdekaan seseorang maka itu adalah kekerasan.

Dia juga menyayangkan langkah salah satu ormas yang mempermasalahkan perihal pasal 5 ayat (2) dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021, mengenai frasa “tanpa persetujuan korban”. Menurutnya hal ini, adalah sesuatu yang yidak perlu diperdebatkan secara subtansial.

“Kita tidak bisa memaknai frasa “tanpa persetujuan korban” dengan pengertian legalisasi terhadap perbuatan asusila ataupun seks bebas,” terang Fanda.

Perihal perbuatan asusila, menurut dia, sudah dijelaskan dan diatur dalam produk hukum lainnya yang termaktub dalam UU KUHP.

“Jadi sebenarnya tidak perlu memperdebatkan hal yang tidak substansial dan salah sasaran. Jadi mari kita bersama-sama fokus memerangi masalah dan memerangi musuh bersama, yaitu kekerasan seksual,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *