SEMUA ANAK ADALAH SENIMAN

Oleh Yono Ndoyit

Indonewsdaily.com – Bersenang-senang bermain wayang, kesan kuat yang nampak saat melihat pertunjukan Wayang Wolak Walik di panggung Festival Kampoeng Dilem ke-5 di Desa Gondowangi Kecamatan Wagir, (04/08/2022). Dalam pertunjukannya, Ki Jumali, mantan Ketua Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini melibatkan puluhan anak untuk turut bermain wayang di atas panggung.

Di depan panggung, nampak perempuan-perempuan sibuk mendokumentasikan pementasan, berusaha mengambil angle terbaik. Beberapa diantaranya kerap terlihat berfoto selfy dengan latar pertunjukan. Sebagian lagi, perempuan-perempuan berusia lanjut dan anak-anak kecil duduk di tikar yang digelarnya layaknya sedang berwisata di lapangan, di pesta rakyat.

Ki Jumali atau akrab dipanggil Lek Joem, alumni ISI Jogja ini memberi kesempatan bagi anak-anak untuk bersenang-senang dan secara spontan mengekspresikan rasa seninya di atas panggung festival. Mungkin juga, ada sebagian dari mereka untuk pertama kalinya naik panggung sebesar itu, dan mungkin pula, sebagian dari mereka juga untuk yang pertama kali memainkan wayang.

“Yang penting, ada keberanian dari anak-anak untuk tampil di panggung,” ucap Lek Joem, saat ditemui seusai pertunjukannya. Selalu ada langkah awal. Pandangan senada seperti Picasso, “Semua anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi artis begitu dia dewasa.”

Tak ada tokoh atau cerita baku dalam Wayang Wolak Walik seperti wayang Purwa yang membawa kisah Mahabarata atau Ramayana dalam pertunjukannya. Tokoh yang ditampilkan cenderung menyesuaikan kondisi atau fenomena yang terjadi saat ini. Menghadirkan tema-tema sosial dan problem kemasyarakatan yang layak disikapi oleh publik secara kultural maupun struktural.

Wayang sebagai produk budaya yang memadukan lintas seni dalam sebuah landskap pertunjukannya, masih dianggap sebagai kreasi seni bernilai tinggi dengan segala kerumitannya. Tantangan yang selalu menyertai setiap kali pertunjukannya, dan upaya untuk mempertahankan citranya dalam melintasi perkembangan zaman.

Suraji, seperti yang dikutip di Alif.id, 05 November 2019 menuliskan: proses konservasi terhadap budaya wayang seperti berhadapan dengan tembok tebal. Karena bahasa komunikasi yang digunakan oleh dalang adalah bahasa Jawa Kuno (kawi) atau bahasa Jawa Tinggi, sehingga hanya bisa dipahami oleh segelintir orang. Sementara di luar itu, upaya mengajarkan bahasa pewayangan ini tidak kunjung dilakukan secara massif di lembaga-lembaga pendidikan, sehingga keberadaannya tetap di luar pemahaman awam.

Dalam konteks sosial budaya seperti itulah, apresiasi yang tinggi layak disampaikan kepada para dalang atau pegiat wayang yang berusaha mengatasi segala tantangan tersebut. Beberapa inovasi telah dilakukan oleh para dalang, baik dalam menampilkan konsep secara keseluruhan pertunjukan wayang yang disajikan, maupun pengembangan sebagian saja dari pertunjukan tersebut, sebagai upaya untuk beradaptasi dengan berkembangnya medium dan penerimaan khalayak masyarakat.

Dari sini dapat dikatakan bahwa dunia wayang menjadi lebih cair dan terbuka dengan tetap membawa misinya sebagai medium transmisi nilai-nilai kebajikan, dan tetap menampilkan aspek hiburannya.

Lek Joem selama ini dikenal merupakan sebagian diantara aktivis 90-an yang konsen memilih jalan bersahaja di jalur seni budaya. Berupaya untuk memperkenalkan dan bermain wayang bersama anak-anak.

Di Gondowangi, Ki Jumali mengajak anak-anak bernyanyi bersama, lagu Burung Kakak Tua yang kemudian dia plesetkan, “Lek Joem…Lek Joem…Lek Joem…tralalaaaa burungnya sudah tua.”

 

Salam baik dan sehat selalu,
Malang, 10 Agustus 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *