Udan-Udanan Sindiran Keras Buat Sang Walikota Malang

Indonewsdaily.com, Malang – Hujan yang menggenangi Kota Malang kemarin, memicu banyak kritikan dan umpatan keras dari warga Malang, termasuk di media sosial.

Atas adanya banjir yang merendam Kota Malang kemarin, Akademisi UB (Universitas Brawijaya) Malang yang juga Budayawan, Dr. Riyanto, M.Hum, memaparkan sorotan nyelekit (pedas).

“Dalam bahasa Jawa, kata udan, mengandung makna ganda. Bisa jatuhnya air dari langit, juga bisa dimaknai, ditelanjangi, diudani.
Udan-udanan bisa bermakna main air hujan, bisa juga saling menelanjangi,” tegas Dr Riyanto, M, Hum, Rabu (20/10/2021) memulai memaparkan sorotannya.

“Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), pernah berapi-api menegaskan : hujan itu, air dari langit, sunnatullah, masuk ke tanah. Bukan dilewatkan gorong-gorong raksasa ke laut. Beliau lupa, Tuhan juga sering menurunkan air hujan di laut. Tak ayal akhirnya, terjadi “udan-udanan”(saling menelanjangi borok kekurangan,red). Sebuah polemik yang berkepanjangan, entah sampai kapan polemik itu berakhir,” tukasnya.

“Orang Jawa punya rumus “pranata mangsa”. Mendeteksi musim, termasuk udan salah mangsa, hujan di luar musim” tukasnya.

“Kaum empiris per-kampus-an tentu tidak tertarik dengan rumus itu. Lebih suka menghitung satu tambah satu sama dengan dua, meskipun kadang yakin, yang ketiga adalah setan,” imbuhnya.

“Pranata mangsa itu, do’anya mudah; “Bissmillahirohmanirohim. Niat ingsun ngobong menyan taline iman. Urube cahyo kumara, kukuse mumbul antariksa, nyuwun marang ngarsane kang Maha Kawasa. Gusti kula nyuwun.
Terserah, minta apa saja, termasuk turun dan berhentinya hujan,” terangnya.

“Maksud saya begini. Leluhur kita dulu, sangat perhatian terhadap musim. Apalagi menyangkut air kehidupan.
Sungai dibersihkan dengan upacara “dawuhan”. Memperlakukan air dengan konsep “dawuh”, perintah orang terhormat yang tidak bisa ditolak. Mungkin disana ada sumber yang tersumbat. Kayu melintang, gubuk dibangun tidak pada tempatnya. Sehingga air mengalir tidak sekehendak hatinya sendiri,” paparnya.

“Beberapa waktu lalu, pak Walikota menggelar “ngruwat nagari”. Bermohon kepada Tuhan, untuk hilangnya “sukerto”, sifat buruk, dengan lambang ritual melepas burung, iber-iberan. Terus “ubeng desa”, kalau di Kota Malang, keliling kota. Intinya rekreasi sambil melihat-lihat, apa yang masih perlu dibenahi. Dilanjut dengan “tirakatan”, dari kata tirakat, artinya berfikir keras untuk kemulyaan warga kota. Ritual pesta “tumpeng”, metu dalan sing lempeng, lewat jalan yang benar. Di dalamnya ada “ingkung”, jadilah kota “linangkung, kota yang hebat. Tomat, mat sinamadan, saling mengingatkan. Lombok merah, semua warga serempak ingin dan berani menggapai rahmat Tuhannya,” tukasnya.

“Nah pertanyaannya. Mengapa Kota Malang tetap banjir bandang ? Apakah tidak ada “dawuh” dari orang terhormat ? Apakah tidak “ubeng kota” ? Apakah tidak saling mengingatkan ? Atau warga kotanya, memang tidak mau dan tidak berani menggapai rahmat Tuhan ? Jawabnya, tanyakan pada Ki Ardhi Poerboantono, S. Pd, dalang yang konon biasa nggelar ruwatan. Meskipun saudara Bambang juga tahu jawabannya, ora ngurus.
Dikhawatirkan, ruwat nagari kemarin salah mantra,” jelasnya.

“Pupur-pupurlah meskipun kadung benjut. Berhiaslah meskipun sudah terlanjur benjut. Banjir kali ini semoga cara Tuhan mengingatkan kita. Khusus Pak Walikota Haji Drs. Sutiaji, ada puasa ada Hari Raya. Marah itu membatalkan, tahanlah untuk segera berbenah. Masih ada waktu untuk menyambut Hari Raya, udan-udanan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *