Banyak Keluhan Dari Wisatawan, Pengamat Pariwisata Nilai Wisata di DIY Wajib Berbenah

Indonewsdaily.com, Jogja – Rentetan keluhan wisatawan mengenai pariwisata di D.I Yogyakarta kembali mencuat, hal itu harus menjadi pemicu bagi penyelenggara pariwisata untuk melakukan pembenahan, dan tidak menganggap komplain tersebut sebagai hal sepele.

Dimulai dari pekan lalu, saat seorang wisatawan mengeluh lewat Tiktok perihal pecel lele di sekitar Malioboro yang harganya Rp37.000. Kemudian pada Senin (31/5/2021), seorang pengguna Facebook mengeluh lantaran harus membayar parkir Rp20.000 untuk sepeda motor, padahal biasanya dia membayar Rp5.000. Pada hari yang sama, di Twitter muncul protes dari wisatawan yang tidak bisa jalan-jalan ke Petilasan Mbah Maridjan di Cangkringan, Sleman, karena dipaksa naik jip.

Berbagai rentetan keluhan wisatawan itu langsung viral dibicarakan di media sosial. Perilaku pelaku wisata di DIY yang mengecewakan wisatawan bisa berbahaya dalam jangka panjang lantaran pariwisata adalah urat nadi perekonomian di Provinsi D.I Yogyakarta.

Pengamat pariwisata Universitas Sanata Dharma, Ike Janita Dewi, mengatakan rentetan kejadian soal pelayanan dan hal-hal negatif di dunia pariwisata D.I Yogyakarta baru-baru ini sebenarnya bukan persoalan baru. Insiden itu sebenarnya merupakan problem lama. Pemegang otoritas mesti mengambil strategi dan tidak menganggap sepele persoalan itu.

Menurutnya, persoalan yang diprotes wisatawan itu merupakan hal teknis yang kadang dianggap tidak terlalu penting oleh pengelola dan otoritas pariwisata. Padahal, hal-hal teknis semacam itu merupakan bagian yang perlu diperhatikan sedetail mungkin agar tidak berbuntut negatif.

“Kita masih banyak menganggap hal teknis yang kelihatan sepele ini kurang perlu diperhatikan, padahal dampaknya sewaktu-waktu besar,” tegasnya, Selasa (1/6).

Menurutnya harus ada perbaikan strategi dan manajemen konflik agar insiden seperti itu tidak terjadi lagi. “Selain perbaikan produk mesti juga punya strategi pemasaran media sosial atau digital marketing yang tepat. Kelihatannya kita masih agak gagap dengan hal itu,” ujarnya.

Di sisi lain, pemangku kepentingan juga tidak bisa mengatasi persoalan dengan cara-cara lama. Sebab, perilaku konsumen dan tren pariwisata saat ini sudah sangat berubah. “Tentu responsnya tidak bisa dengan cara-cara lama. Harus ada keinginan untuk berbenah,” katanya.

Ike mengatakan, pemerintah dan juga pengelola tak boleh lagi beralasan bahwa pengawasan, sistem dan pengelolaan sudah dilakukan dengan optimal. Selain itu, pariwisata di D.I Yogyakarta membutuhkan narasi yang sesuai serta relevan untuk membangkitkan kembali citra yang tercoreng akibat protes dari wisatawan.

“Perlu ada upaya menghalau narasi negatif itu dengan hal yang positif di media sosial dengan komunikasi yang baik,” tutupnya. (Agil W)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *