Opini  

Evaluasi Sistem Kesehatan: Indonesia Harus Belajar Dari Kuba, Lalu Berbenah

Foto: Fanda Puspitasari (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Politik UI)

Oleh: Fanda Puspitasari

(Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Indonewsdaily.com – Masih seputar Covid-19. Indonesia, agaknya menjadi negara paling kontroversial se-antero jagat jika berkaitan dengan Covid-19 dan segala “tetek bengek” yang melingkupinya. Tetek bengek dalam artian: vitamin, obat-obatan, vaksin, tes covid, dll. Awal mula kemunculan Covid-19 di Indonesia dengan segala kontroversinya, seakan menjadi paket yang tidak terelakkan. Disusul dengan gejolak vaksinasi, yang menyebabkan masyarakat terbelah menjadi kubu pro dan kontra.

Terlebih perihal munculnya Vaksin Nusantara dan kebijakan impor vaksin, kontroversi pun tidak dapat dibendung. Sementara saat ini, yang tengah menjadi “huru hara” adalah perihal dugaan bisnis PCR yang dilakukan oleh pejabat publik. Satu fenomena menyedihkan bernama pandemi Covid-19, diperparah oleh berbagai gerakan-gerakan tambahan yang membuat kondisi semakin menyedihkan.

Konsentrasi penanganan Covid-19 seolah bukan menjadi agenda utama bagi negara kita. Deretan kontroversi yang muncul, seakan menjadi indikator bahwa orientasi penanganan pandemi mungkin bukan atas kepentingan rakyat, melainkan atas kepentingan tertentu, namun berkedok atas nama rakyat. Atau mungkin bisa juga dikarenakan faktor sistem kesehatan Indonesia yang tidak siap berjibaku melawan pandemi. Maka tak heran jika situasi pandemi di Indonesia tidak kunjung membaik secara signifikan. Membaik dalam artian tidak hanya pada sekup penyebaran virus, namun juga situasi sosial, politik dan ekonomi.

Tulisan sederhana ini ingin mengajak pembaca untuk melakukan ‘studi banding’ penanganan pandemi antara Indonesia dengan Kuba. Selain itu, juga ingin mengajak pembaca melihat satu proses penanganan pandemi yang oleh dunia disepakati dengan vaksinasi. Vaksinasi di Indonesia saat ini telah dan tengah dilakukan. Kemenkes menyebutkan, penyuntikan vaksin mencapai lebih dari 200 juta suntikan, terhitung dibulan November lalu. Sebagian masyarakat yang semula bersikap kontra vaksin, harus berlapang dada untuk menerima. Terlebih vaksin menjadi syarat wajib untuk menjalankan aktifitas sehari-hari.

Sedikit flash back mengenai kontroversi Vaksin Nusantara (VN) yang sempat heboh di Indonesia. VN temuan mantan Menkes Terawan, sempat menyita perhatian berbagai kalangan, termasuk Pemerintah dan lembaga terkait. Klaim tidak lolos dalam uji klinis, menjadi batu sandungan bagi VN. Ditengah-tengah kebutuhan vaksinasi sebagai upaya menekan penyebaran virus, temuan VN seakan dianggap bukan sebuah harapan. Justru seakan menjadi temuan yang tidak diinginkan. Tidak lolosnya VN dalam uji klinis, seharusnya bukan menjadi alasan utama untuk tidak melanjutkan pengujuan terhadap vaksin tersebut. Mungkin langkah tepat yang perlu diambil bukan serta merta menolak, namun justru perlu dilakukan pengujian yang lebih mendalam dan tepat agar vaksin tersebut menjadi layak digunakan.

Kondisi yang terjadi di Indonesia berbeda jauh dengan Kuba. Kuba menjadi negara paling bertaring dalam penanganan pandemi. Salah satunya dibuktikan dengan keberhasilan mereka memproduksi vaksin secara mandiri. Menariknya, Kuba hanyalah negara kecil dan terpencil di Kepulauan Karibia. Bukan juga negara kaya, terlebih sejak jalur perdagangannya diblokade oleh Amerika Serikat, pertumbuhan ekonominya sangat melambat. Dan Kuba hanya memiliki luas wilayah yang lebih kecil dari pulau Jawa (109.884 km²). Bahkan namanya-pun agaknya tidak begitu terkenal disebagian besar kalangan milenial. Namun hebatnya, Kuba berada di garda depan melawan pandemi.

Mari kita sedikit melihat lebih dalam lagi mengenai negara kecil yang begitu menarik ini. Kuba merupakan negara dengan sistem kesehatan yang kuat. Ditengah peliknya situasi pandemi yang membuat seluruh dunia kalangkabut, Kuba justru menjadi negara paling siap nan dermawan. Bagaimana tidak, Kuba memberikan bantuan medis kepada negara lain. Sekitar 28.000 lebih brigade kesehatan Kuba dikerahkan secara global, dan hampir 40 negara di lima benua telah menerima bantuan tenaga kesehatan dari Kuba selama pandemi.

Kuba memiliki sumber daya yang unik, mereka mengalami surplus dokter yang terlatih. Dalam penanganan pandemi, Kuba menempatkan sekitar 20.000 dokter dan perawat keluarga di seluruh negeri. Hal ini berbeda jauh dengan Indonesia yang mengalami keterbatasan tenaga medis. Bisa dikatakan, Kuba merupakan negara dengan rasio dokter tertinggi di dunia. Kuba mampu menyediakan 1 dokter untuk setiap 150 warga negara. Sementara menurut WHO justru lebih, ada 82 dokter per 10 ribu orang di Kuba. Dan itu adalah rasio yang melampaui banyak negara maju.

Ambil contoh data di negara yang begitu sensi terhadap Kuba, yaitu Amerika. Amerika hanya mampu menyediakan 26 dokter untuk 10 ribu orang. Sedangkan Indonesia lebih memprihatinkan, hanya memiliki 4 dokter untuk 10 ribu orang. Maka wajar jika Kuba membagi-bagikan dokternya keseluruh penjuru dunia untuk penanganan pandemi. Kedermawanan Kuba ini sudah dilakukan bahkan sejak revolusi sayap kiri tahun 1959. Dengan misi kemanusiaan, Kuba mengirimkan “tantara jas putih” ke lokasi bencana dan wabah penyakit diseluruh dunia atas nama solidaritas.

Pada Februari 2020 diawal kemunculan pandemi, Kuba merumuskan agenda penanganan Covid-19 menggunakan pendekatan berbasis sistem kesehatan universal dan menggabungkan kebijakan antar sektor secara nasional serta merumuskan strategi khusus. Lagi-lagi hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Diawal kemunculan pandemi, justru dibarengi dengan kontroversi. Dalam strategi Kuba, industri biofarmasi memainkan peranan kunci. CubaBioFarma adalah perusahaan payung untuk industri farmasi dan biotek serta lembaga penelitian Kuba. Lembaga ini berfungsi salah satunya melakukan penelitian dan pengujian vaksinasi. Dalam upaya menemukan vaksin, Kuba merancang sistem uji klinis sebagai jaringan terpadu. Maka dibentuk dua gugus tugas ilmiah, yaitu Kelompok Sains dan Komite Inovasi, yang bertanggungjawab untuk mengevaluasi produk vaksin dari biofarmasi.

Kuba telah melakukan semua uji klinis untuk kandidat vaksin Covid-19, yaitu Soberana, Abdala dan Mambisa. Sebelumnya, telah dilakukan lebih dari 10 uji klinis vaksin yang disetujui. Uji coba terus dilakukan mulai dari mengevaluasi keamanan, hingga menemukan vaksin yang manjur dan aman. Lagi dan lagi hal ini sangat berbanding terbalik dengan Indonesia. Tidak lolosnya uji klinis Vaksin Nusantara, bukannya berupaya lebih gigih untuk menemukan vaksin yang layak, justru seakan menyerah dan memilih impor. Keberhasilan Kuba dalam memproduksi vaksin mandiri, membuat mereka tidak perlu impor vaksin. Kebijakan non impor ini dibarengi dengan upaya menemukan vaksin mandiri, maka lahirlah vaksin Soberana (efikasi 91,2%) dan Abdala (efikasi 92,28%) yang diklaim dapat digunakan oleh semua kalangan bahkan untuk anak-anak sekalipun.

Berbeda dengan Indonesia. Indonesia justru memilih impor vaksin. Indonesia dan Kuba merupakan dua negara yang sama-sama mengalami gejolak besar selama masa pandemi, namun bertindak dan menuai dampak yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dianalisis dari strategi pengambilan kebijakan vaksin yang dikorelasikan dengan kondisi sistem kesehatan dikedua negara. Kebijakan vaksinasi antara Indonesia dan Kuba memiliki implikasi terhadap beberapa sektor dan kemungkinan. Idealnya kebijakan dibuat dengan mengedepankan nilai, tujuan dan praktik yang jelas serta terarah. Dari kebijakan kedua negara dapat dilihat bahwa Kebijakan Vaksinasi Indonesia bukanlah kebijakan yang terarah, solutif serta tidak memberi dampak dan asas kebermanfaatan jangka panjang.

Dalam pembuatan kebijakan juga harus diperhatikan tingkat rasionalitas. Agar suatu kebijakan yang dibuat objektif, berdasarkan kebutuhan, punya dampak serta manfaat luas dan jangka panjang. Hal ini lah yang mencolok dari perbedaan kebijakan antara Indonesia dengan Kuba. Kebijakan vaksinasi Kuba secara mandiri membuahkan dampak positif yang tidak hanya menguntungkan negara dalam segi kesehatan, namun juga dari sektor ekonomi dan ketahanan nasional. Bonusnya adalah Kuba mampu menciptakan sejarah, sebagai negara kecil, Kuba mampu menghadapi krisis dengan ketepatan strategi dan ketepatan mengambil kebijakan.

Sebaliknya, Indonesia dengan kebijakan impor vaksin bahkan impor peralatan medis lainnya, justru membuahkan hasil yang tidak menjangkau kemanfaatan dalam banyak hal ataupun kemanfaatan jangka panjang. Besarnya anggaran negara yang diperuntukkan untuk agenda impor semakin memperuncing keterpurukan. Selain itu, menegasikan temuan Vaksin Nusantara menjadi langkah retrogresif dalam hal penelitian dan pengembangan sektor kesehatan. Hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan yang rasional, memiliki nilai dan tujuan yang terarah menjadi kunci dari keberhasilan suatu negara mengatasi masalah.

Evaluasi sistem kesehatan, menjadi agenda penting yang tidak dapat dikesampingkan lagi. Pandemi sekaligus memberi tamparan kepada Indonesia atas ketidakmampuan sistem kesehatan yang ada. Harus menunggu wabah muncul terlebih dahulu baru membuat Indonesia menyadari jika sistem kesehatan yang dimiliki negara kita sangat buruk dan jauh dari kualitas baik. Menanggapi statement pemerintah melalui Wamenkes dalam acara Health Business Gathering 2021, mengungkapkan bahwa moment pandemi adalah momen penting untuk mereformasi sektor kesehatan, karena menurutnya tidak ada waktu yang lebih tepat untuk melakukan transformasi kesehatan selain di momen pandemi. Ia juga mengatakan jika saat ini Indonesia siap melakukan transformasi sistem kesehatan.

Ternyata negara kita tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, kita pernah menghadapi flu burung. Seharusnya evaluasi dan reformasi kesehatan bisa dilakukan sejak dulu. Terlebih Indonesia memiliki visi misi kesehatan yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jika SKN diejawantahkan dalam pengelolaan dan implementasi yang tepat, maka Indonesia tidak akan kalangkabut dalam menghadapi masalah kesehatan apapun. Seharusnya tidak perlu menunggu pandemi untuk memunculkan kesadaran pentingnya sistem kesehatan yang berintegritas.

Melalui tragedi sehari-hari, semisal banyaknya kasus didaerah Ibu meninggal saat akan melahirkan karena akses kesehatan yang sulit dan tidak mumpuni. Banyaknya orang sakit yang tidak tertangani dengan baik akibat bermacam sebab, salah satunya karena faktor biaya. Berangkat dari beberapa tragedi tersebut, seharusnya Indonesia sejak dulu melakukan evaluasi, kemudian melakukan revolusi dibidang kesehatan, bukan hanya akan melakukan reformasi apalagi transformasi.

Indonesia harus belajar dari Kuba. Kuba memiliki prinsip sistem kesehatan yang utama yaitu menjadikan kesehatan sebagai hak setiap orang dan sebagai tanggungjawab negara; pelayanan kesehatan yang mudah diakses, gratis, berorientasi pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, serta melibatkan masyarakat dan berorientasi pada pelayanan kesehatan primer. Prinsip tersebut selaras dengan salah satu kebijakan Kuba, yaitu memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada rakyatnya.

Hal tersebut sangat kontras dengan Indonesia, jaminan kesehatan yang ada tidak mampu menjamin kepastian nasib masyarakat. Melalui pandemi, negara kita harus benar-benar melakukan evaluasi dan melakukan perubahan. Dan perlu ditekankan, statemen yang dilontarkan Wamenkes merupakan representasi dari komitmen negara, dan itu adalah tanggungjawab yang harus ditunaikan. Semoga setiap janji dan komitmen tidak hanya menjadi perkataan yang menguap lalu hilang bagai asap. Saatnya negara kita harus benar-benar insaf melakukan perbaikan dan menjadikan kesehatan masyarakat sebagai hal utama untuk menuju kesejahteraan dan jaminan keberlangsungan hidup yang layak. Sebab, dibalik negara yang kuat, terdapat masyarakat yang sehat, tentunya melalui sistem kesehatan yang tepat.

Indonesia harus belajar dari Kuba, lalu berbenah..!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *