Hadirkan Busyro Muqoddas, FISIP UMM Bahas Gonjang-Ganjing KPK

Indonewsdaily.com, MALANG – Kamis (10/6) FISIP UMM menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum. Dengan menghadirkan Busyro Muqoddas, Feri Amsari dan Azumardi Azra.

Rinikso Kartono, Dekan FISIP UMM ketika memberi pengantar mengatakan tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK adalah perilaku yang tidak adil. Terjadi labelling terhadap pemberantas korupsi sebagai orang-orang tidak Pancasilais, namun para koruptor tidak diberi labelling negatif.

“Serangan balik koruptor hingga Instrumen kebaikan menjadi pudar dan yang kuat adalah uang. Tidak heran jika lebih 300 orang termasuk kepala daerah masuk dalam bursa kepemimpinan,” ujar Rinikso.

Busyro Muqoddas, mantan Wakil Ketua KPK, mengatakan ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era presiden Jokowi, ada faktor Determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik. Terjadi penurunan indeks persepsi demokrasi pararel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi. Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi sekaligus makin naiknya tingkat korupsi. Demokrasi di Indonesia ditengarai merupakan transaksi nasional yang memerlukan prasyarat.

Yang pertama adalah Floating Mass, yakni masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya.

Pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024 adalah prasyarat berikutnya bagi demokrasi transaksional ini. Selain itu intensitas represivitas keamanan seperti teror, hoaks radikalisme, isu intoleran dan gerilya buzzer adalah indikasi berikutnya.

Sementara itu, aktivis hukum Indonesia yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyuarakan beberapa hal. Ia menjelaskan setiap tahun KPK diserang oleh koruptor. Hal ini merupakan indikasi sederhana yang positif karena berarti KPK masih berada di jalurnya. Ia juga membahas ketidakjelasan posisi KPK, mengingat Indonesia hanya ada tiga jenis lembaga. Menurutnya, upaya pengubahan Undang-Undang (UU) KPK baru terjadi di era Jokowi.

“Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jika ada perubahan UU KPK berlangsung dengan cepat, maka bisa dipastikan adanya keterlibatan presiden dalam perubahan tersebut secara serius,” tambahnya.

Azumardi Azra menuturkan gonjang-ganing KPK menjadi salah satu pertanda buruk atau Negative Legacy dalam pemerintahan Jokowi. Seharusnya pada periode kedua, Jokowi bisa menguatkan Positive Legacy.

Menurutnya, kebebasan berekspresi semakin hilang belakangan ini. Selain itu terjadi sejumlah penangkapan beberapa tokoh yang Vocal.

Ia mengatakan jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi, salah satu jalannya yakni membebaskan orang-orang yang mengkiritik.

Dijelaskan guru besar peraih gelar Commander of The Order of British Empire ini, Indonesia harus dibangun oleh kebebasan berekspresi, bebas menyampaikan kritik, bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah.

“Yang bisa kita lakukan adalah menyalakan harapan, walaupun saya melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK ini,” ungkap Azumardi, dengan prihatin.

Presiden Jokowi juga tidak merespon suara dari 75 guru besar yang mengkritisi kasus KPK.

Azumardi juga tidak melihat KPK akan dipulihkan kekuatannya. Ia pun berpesan, walaupun kondisinya pahit, biarkan saja. Sembari menunggu harapan baru pada tahun 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *