Menanggapi Kasus Pemerkosaan di Brebes, DPP GMNI: UU TPKS tidak Mengenal Restorative Justice

Fanda Puspitasari, Ketua DPP GMNI Bidang Pergerakan Sarinah.

Indonewsdaily.com, Jakarta – Baru-baru ini mencuat kasus pemerkosaan yang dialami oleh seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang berakhir damai. Hal itu mendapat tanggapan serius dari Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI).

Untuk diketahui, pemerkosaan yang terjadi dilakukan oleh enam orang, dan dimediasi oleh beberapa oknum LSM di Rumah Kepala Desa setempat, dan tanpa melibatkan pihak Kepolisian. Upaya mediasi tersebut dilakukan pada 29 Desember 2022 lalu, di mana Oknum LSM tersebut mendatangkan orang tua para pelaku pemerkosaan dan pihak korban. Ironisnya, para Oknum LSM itu meminta sejumlah uang kepada para pelaku dengan jaminan terbebas dari jeratan hukum, serta korban juga akan diberikan ganti rugi.

Menurut Fanda Puspitasari, Ketua DPP GMNI Bidang Pergerakan Sarinah mengatakan, berakhir damainya kasus pemerkosaan di Kabupaten Brebes tersebut menjadi fenomena tragis dalam upaya menghapus kekerasan seksual di Indonesia.

“Dalam kasus kekerasan seksual dan dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak mengenal Restorative Justice. Prinsipnya adalah, korban harus mendapatkan hak-haknya, dan pelaku harus mendapat sanksi hukum. Hal ini tidak bisa dilonggarkan melalui mediasi yang berujung damai, karena bertentangan dengan tujuan penghapusan kekerasan seksual dan bertentangan dengan UU TPKS yang belum lama disahkan,” kata Fanda dalam keterangan resminya.

Pemakluman terhadap kekerasan seksual, jelas Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini, hanya akan memperparah pola pikir masyarakat yang selama ini menganggap kekerasan seksual bukanlah kejahatan serius. Selain itu, terang Fanda, yang perlu disoroti adalah, disahkannya UU TPKS harus dibarengi dengan implementasi yang tegas dan tepat.

“Komitmen dalam implementasi UU tersebut terutama harus dimiliki oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam setiap penanganan kasus, Artinya penanganan kasus kekerasan seksual harus mengacu pada UU TPKS.” tegasnya.

Karena dalam UU TPKS, jelas Fanda, termuat aturan yang dapat memberikan hak-hak korban, seperti keadilan hukum, pendampingan pemulihan, hingga restitusi. Selain itu, terangnya, di dalam UU TPKS juga termuat mengenai penindakan pelaku yang tidak semata berupa sanksi hukum, namun juga rehabilitasi agar tidak terjadi tindakan yang berulang dari pelaku. Dan tentunya, UU tersebut bersifat Non Restorative Justice.

Oleh sebab itu, tegas Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) ini, Negara harus menjadi garda terdepan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual dan dalam implementasi UU TPKS, mulai dari pencegahan, pemulihan, hingga penanganan dengan memaksimalkan berbagai instrumen negara dan segala sendi pemerintahan hingga tataran grass root, seperti pemerintahan Desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *