Pernikahan dan Hubungan, Kenapa Kebahagiaan Rumah Tangga Susah Tercipta (Part 2)

Saya berhenti berpikir bahwa orang-tua selalu tahu akan segala sesuatu dan selalu benar, ketika saya mulai berbicara pada sahabat pena dari India dan Vietnam. Satu orang-tua dari India ngotot agar teman saya segera menikah muda, sementara teman saya dr Vietnam masih harus mengurus orangtuanya yang cacat pasca perang. Setiap keluarga, komunitas, negara, memiliki situasi yang berbeda meskipun secara umum memilliki budaya dan tradisi yang sama; restu orangtua dalam pernikahan.

Sayangnya, sesat pikir akan otoritas masih banyak terjadi antara pasangan suami-istri itu sendiri. Cukup banyak ibu rumah tangga yang bergantung pada nafkah suami, dan tidak sadar bahwa ia meyakini jika sebagai kepala keluarga suami selalu benar. Kerap pula terjebak pada keyakinan; jika saya membahagiakan suami/istri, maka ia juga akan berbuat hal yang sama. 

Bukanlah hal yang buruk untuk diyakini, jika kedua belah pihak mampu mengutarakan dan mengekspresikan dirinya masing-masing secara jujur.

Suami saya, sering secara tiba-tiba melontarkan pernyataan; “Thank you for making me happy.” 

Saya pun beberapa hari sekali bertanya; “ How are you feeling today?” meskipun kami serumah, saya perlu checking out if he’s happy / comfortable.

Belajar dari pengalaman banyak pasangan yang mereka berhenti berkomunikasi dengan penuh gairah, kasih, bahkan mesra, hanya karena mereka sudah ‘biasa’ atau ‘lama’ tinggal serumah. Hanya karena kamu bisa melihat langsung, bukan berarti dia selalu baik-baik saja seperti apa yg tampak.

Suami saya selalu bisa menyadari jika saya lelah atau mengantuk tapi berusaha tampak prima. Kadangkala dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menggunakan Argumentum ad misericordiam ; argumen to compassion. 

Misal; “Sayang, kamu kelihatannya nggak mood, mau coklat?” lalu setelah saya terjebak pada rayuan manisnya, baru saya sadari bahwa dia ‘jajan’ lebih banyak cemilan dari yang saya biasanya perbolehkan. 

Tentu saja hal diatas adalah contoh sederhana yang tidak menjadi masalah besar.

Pada kasus yang lebih serius, beberapa klien memberikan pernyataan dengan argumen tersebut;

“ Saya kasihan dengan istri yang baru melahirkan, setelah segala kelelahan sejak hamil tua. Kami sudah lama tidak berhubungan intim, karena saya punya kebutuhan seksual yang tinggi tapi saya tidak tega memaksa istri maka saya berhubungan fisik dengan wanita lain, hanya seperlunya dan tidak terikat secara emosional maupun hubungan yang lebih lama.”

Dalam kasus lain, manipulasi terhadap kasih sayang (compassion) untuk mendapatkan persetujuan (agreement) bisa terjadi, misal;

“ Suami saya adalah bapak yang baik terhadap anak-anak dan selalu menafkahi, tapi saya tidak mampu melayaninya. Untuk itu saya setuju dia menikah lagi dengan istri muda.” 

Kebahagiaan itu sendiri tidak bersifat mutlak, tidak kekal. Hari ini seseorang bisa setuju untuk berbuat sesuatu, esok bisa berubah pikiran dan keinginan.

The hearts wants what the heart want.” 

Dinamika hubungan manusia pun selalu berubah-ubah, tidak jarang klien saya mengeluhkan bahwa penikahannya tidak benar-benar membahagiakan tatau berubah menjadi tidak bahagia tanpa menyadari bahwa bahagia bukan berarti setiap saat tertawa lepas tanpa ada masalah atau tantangan hidup sama sekali.

Banyak orang yang memiliki tujuan hidup dengan keyakinan; “Menikah untuk bahagia.”

Banyak kali pula saya merespon; pernikahan adalah pilihan perjalanan, di dalamnya bisa terdapat dan tercipta kebahagiaan. 

Setiap sesi konsel dan terapi, saya sering menganalisa kesalahan-kesalahan berpikir bukan hanya dari Logical Fallacy itu sendiri tapi juga ada asumsi-asumsi yang kuat. Biasanya, asumsi dan praduga ini tercipta karena komunikasi yang masih ambigu, tidak ada klarifikasi.

“ I thought You knew.” 

Saya beri penekanan untuk pembaca membayangkan intonasi pengucapannya contoh kalimat diatas.

“Mestinya kan gini, harusnya begitu, …” dan sebagainya, bentuk ekspresi bahwa orang lain akan berpikir sama dengan yang kita dengan dasar norma atau nilai standar yang kira yakini sebagai kebenaran karena hal ini yang terjadi secara umum.

Di Norwegia, kebutuhan pokok sangat mahal. Ketika suami saya pulang membawa buket bunga, saya sempat kaget terpesona dengan keromantisannya. So I thought.  

Ternyata buket tersebut adaah house-warming gift dari boss kantor suami, untuk kami. Bagi saya yang besar di Jawa, menghadiahi buket bunga bagi pasangan yang baru menikah dan pindah di rumah baru adalah tidak umum. Saat itu saya belum memahami bagaimana perilaku sosial orang-orang Norwegia pada umumnya. Saya hanya membatin; sayang sekali satu buket mawar merah jambu seharga lima ratus ribuan, lebih baik dibelanjakan yang lain.

Tidak hanya itu, suami saya membeli tanaman hias hidup 1 pot. Sempat saya berargumen bahwa tanaman hias ini tidak perlu karena kami sudah menerima banyak buket. Suami saya beralasan bahwa tanaman pot lebih awet daripada buket bunga potong; yang memang dalam fakta, dia benar. 

Penggunaan fakta untuk mengukuhkan satu tindakan adalah benar, adalah sebuah bentuk komunikasi dengan Causal Fallacy, non-causa pro-causa.

Saya sempat sedikit kesal karena teringat bahwa kami akan kembali ke Indonesia untuk waktu yang cukup lama sehingga tidak bisa merawat tanaman hias apapun, saya yakin bahwa ini adalah pengeluaran yang tidak perlu, hanya karena tanaman pot lebih awet dari buket bunga potong.

“ Kan mestinya tanya dulu sebelum membeli sesuatu.” — sempat terbesit pernyataan ini karena saya pikir suami tidak salah, hanya kurang tepat.

Tidak lama dalam seminggu, musim dingin memuncak dengan suhu menurun drastis dan matahari hanya muncul 5 jam dalam sehari. Saya tidak segera menyadari saya mengalami winter-depression dan kurang berenergi, sampai suatu hari saya menatap satu pot bromelia yang harganya 12x dari Indonesia. Tanpa disadari, 1 jam berlalu.

Wah, saya melamun.

Menatap warna hijau dan merah cerah dari sebuah tanaman tropis di tepi jendela dengan kondisi salju tebal lebih dari sejengkal, tanaman ini mahalnya sebanding untuk membantu mata dan otak manjadi segar ditengah gelap dan dinginnya musim salju. Akhirnya saya memutuskan untuk memberitahu suami saya bagaimana cara dia bisa membahagiakan saya dengan tepat; beli masing-masing satu pot herba organik. 

Rosemary, Basil, Mint, Coriander, Celery. Sama-sama tanaman yang mampu menyegarkan mata dan bisa menghias tepi jendela bahkan bisa ‘dipanen’ untuk masakan dan minuman yang bagi saya lebih terasa manfaatnya yang membuat suami saya senang juga.

Hemat itu bagus, perhitungan itu harus, tapi bahagia itu perlu.

Banyak orang yang terpaku pada satu nilai benda sebagai patokan; jika saya memiliki ini, saya akan bahagia.

Perhiasan, tas, baju, hingga mobil dan elektronik keluaran terbaru.

Sekolah bergengsi, kursus ekstra untuk anak-anak, keikutsertaan kompetisi dan prestasi. Banyak sekali nilai ukur atas pencapaian yang dianggap sebagai target kebahagiaan.

Sesungguhnya, memiliki kebersamaan, adalah kesempatan terbesar untuk saling menciptakan dan berbagi kebahagiaan dengan banyak cara.

Setiap kali ada klien yang meminta saran bagaimana membina kebahagiaan dalam pernikahan, saya akan terlebih dahulu perlu tahu;

“ Bahagia itu apa, menurutmu?”

-let. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *