Polemik Pernikahan dan Hubungan, Cinta? Tapi Kok Makan Hati

Indonewsdaily.com – Sejak 2005, saya sering sekali mendengar keluh kesah ini; Cinta, bisa bikin makan hati. Di masa kuliah saya sudah mulai menerima banyak ‘pasien cur-hat’ meskipun saya masih mahasiswi psikologi, tidak jarang yang ‘cur-hat’ pun datang dengan rombongannya. Teman cewek yang butuh ‘pendukung’ untuk keluh kesahnya, datang berdua atau bertiga untuk memberikan respon; “Ya, kan?”, “Nah itu!”, “Yaudah…”— dan sebagainya, sebagai penghibur lara sementara.

Dulu, saya masih belum berani untuk menegaskan bahwa psikolog bukan bertugas sebagai ‘tentara’ untuk balas dendam perihal sakit hati dalam hubungan percintaan. Seiring waktu, saya menjadi lebih terbuka bukan hanya pada klien tapi pada subyek yang ia keluhkan. Ibarat wasit, juri, atau hakim, saya harus bisa memisahkan diri dari subyektifitas. 

Beberapa tahun lalu, seorang teman wanita menyampaikan keluhannya tentang suami;

“ Suamiku, semakin gak mesra… Padahal aku wes capek kerja, banyak pasien dari pagi sampe sore— masa pulang ngga dipeluk kek, dicium kek, padahal dia kerjanya ngga seberat aku.”

Saya telah melakukan kesalahan fatal; hanya mendengar keluhan dari pihak istri tanpa akses untuk mendengarkan cerita atau opini sang suami. 

Beberapa minggu kemudian, sebagai teman saya menanyakan kembali bagaimana perkembangan kemesraan hubungan teman saya itu.

“ Kami udah bercinta lagi, sih

Tapi… dia harus nonton ‘film’ gitu gitu dulu biar ON!”

Sebagai sesama wanita, hati saya sempat terkoyak, saya menanyakan apakah mereka sudah mencoba beberapa cara foreplay atau role-play untuk menciptakan suasana romantis, bukan hanya erotis. Jawabannya sesuai kekhawatiran saya;

“ Aduh, nggak sempet!

Pulang kerja udah capek, masih harus cek gimana sekolahnya anakku, cek kebutuhan besok apa aja…

Lagian, suamiku kan harusnya paham body-ku berubah kan ya buat ngelahirin anaknya— ngga sebagus pornstar, kalo dia ngga terangsang lihat aku telanjang ya berarti emang udah nggak cinta!”

Saya sempat menyarankan agar mereka mengambil cuti sejenak sebelum akhir pekan, membayar pengasuh agar mereka bisa punya waktu mesra berdua saja — sambil mengutarakan keinginan masing-masing dan keluh kesah tersebut tidak akan mendapatkan solusi terbaik tanpa komunikasi dua arah. Sayangnya, situasi finansial dan keluarga tidak memungkinkan ide itu terwujud. Sekitar 3 bulan kemudian, mereka hidup terpisah.

Hal ini baru saya ketahui ketika tidak sengaja berpapasan dengan sang suami di sebuah cafe, sebelum makan malam saya menyapanya;

“ Hi Dev [bukan nama sesungguhnya] — Wah, wes lama ndak ketemu ya! Yak apa kabarmu? Yak apa Ivon [bukan nama sesungguhnya], kok nggadiajak kongkowsek jaga di klinik ta?”

“ Hehe [sang suami tersenyum dengan tatapan sedih]— wes urusan e dewe-dewe sekarang… Ga tau ya, dia lagi kerja atau ngapain. Pokoknya aku malam jenguk anakku, dia tidur, aku pulang ke rumah orang tuaku.”

Saya merasa saat itu saya harus netral, berusaha untuk pura-pura tidak tahu tentang permasalahan rumah tangga mereka. Pun, saya memang tidak pernah tahu dari sudut pandang si suami. Tapi dari bagaimana ia merespon saya dengan ekspresi yang tulus, saya yakin ia pun tidak tahu jika istrinya sempat ‘curhat’ pada saya tentang meraka.

“ Lho, lho, lho… kok bisa, kalian kenapa? Dulu waktu LDR sebelum nikah mesra banget, bukannya tinggal serumah malah enak, bisa makin dekat?”

“ Dulu-uuu… Tis. Jaman dulu kayaknya masih sama-sama semangat.

Sekarang Ivon berubah, sudah ngga cinta lagi jelasnya, kayaknya aku juga udah nggak menarik buat dia sih.

Tahu kan, dia di sos-med posting banyak selfie

Kalo kerja, keluar, ketemu orang lain dandan habis-habisan… kalo di rumah, dasteran, ngga mandi, gampang marah-marah… kyak aku nggak dianggep.”

Terus terang saya semakin kaget dengan respon Dev.

Kesalahan saya sebagai psikolog adalah hanya mendengarkan satu versi cerita/keluhan saja, tapi sebagai teman kesalahan fatal saya adalah tidak memberikan dukungan yang tepat— bukan dukungan yang sesuai keinginan teman saya Ivon.

Saya masih merasa hubungan mereka masih dapat diperbaiki saat itu. Mereka hanya perlu tatap muka dengan saling mengutarakan permasalahan sesungguhnya. Rupanya hal ini pernah hampir terjadi, malah menjadi perdebatan panjang yang membuat putra mereka yang masih berusia 4 tahun, sedih menyaksikan pertengkaran mereka dan menangis semalaman. Mereka akhirnya memutuskan untuk sama-sama diam tapi hidup terpisah.

Saya teringat beberapa waktu lalu, teman saya itu mengunggah posting quote kata-kata bijak “Silence is golden.”. Ketika saya lacak kembali, waktunya sesuai dengan timeline yang Dev ceritakan, ia sering ‘curhat’ online dan membuat Dev merasa selalu terpojok dan tersindir.

Banyak orang tidak sadar bahwa pikiran mereka terjerat dan terjebak pada tampilan visual yang manis, romantis, dengan kata-kata yang terdengar bijak maupun benar. Semua kalimat-kalimat ‘indah’ tersebut belum tentu bisa benar-benar diterapkan pada situasi setiap orang, dan belum tentu memberikan ‘efek’ yang sama untuk mewujudkan keselarasan. 

Dan pastinya, mengunggah quotation tersebut agar dilihat orang yang dianggap bermasalah dengan maksud menyindir, sama sekali bukan solusi.

Kalian perlu saling komunikasi, batinku.

Saya sempat menyarankan untuk menghadirkan seorang penengah, konselor yang lebih mampu daripada saya sendiri saat itu. Tetapi rupanya keduanya tidak memiliki keinginan yang cukup kuat untuk memperbaiki hubungan. Tanpa keinginan ini, usaha apapun tidak akan berhasil. Keinginan itu pun harus setidaknya sama besar bagi keduanya.

Si suami, lelah dengan istrinya yang lebih sering mementingkan ‘apa kata orang?’ — mereka tampil mesra, bahagia, dengan tampilan luar biasa demi pencitraan klinik kecantikan milik sang istri. 

Meskipun suami bekerja di rumah, lebih sering duduk di depan komputer dan meeting di luar sesekali — bukan berarti ia tidak lelah juga.

Ia sudah melewati titik jenuh dan merasa bahwa istrinya tidak lagi ‘berusaha’ menyenangkannya, hingga ia pun secara tidak sadar tidak berusaha menyenangkan istrinya juga.

Si Istri, merasa bahwa suami seharusnya tetap mencintainya penuh gejolak asmara dan gairah seperti sejak awal berjumpa, akhirnya teralihkan pada hal-hal yang menyanjungnya di dunia maya.

Berlindung di balik alasan lelah bekerja dan mengurus anak, sang istri merasa bahwa perannya lebih penting dalam rumah tangga, tidak sadar bahwa ia tidak menunjukkan sikap menghargai dan menghormati suami— bahkan terlalu ‘capek’ untuk berkomunikasi dengan terbuka.

Keduanya saling menunjuk “Mencintaimu bikin makan ati!”

Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa hubungan mereka masih berdasarkan supply and demand, bukan cinta yang sesungguhnya. 

Coba saya tanya;

Siapa yang tidak suka dipuji?

Sekarang, pertanyaan lain;

Lebih suka dipuji oleh siapa; orang lain atau pasangan sendiri?

Ketika kita berbuat sesuatu dan mengharapkan tanggapan baik namun tidak terwujud, lebih mudah bagi kita untuk ‘menyalahkan’ orang lain terlebih dahulu daripada mengkaji situasi atau keadaan dari pasangan kita.

Tidak susah kok, untuk bertanya; “Kamu kenapa?”

Tidak susah juga, untuk menyampaikan; “ Aku tuh sebenernya pengen gini…”

Yang susah adalah ketika salah satu atau kedua insan berasumsi bahwa yang lain seharusnya berpikir dalam cara pikir yang sama.

Lebih susah lagi untuk berkomunikasi jika salah satu atau keduanya sama-sama berasumsi  bahwa pasangan punya kemampuan telepati untuk selalu mengetahui perasaan dan pikiran kita.

“ Masa gitu aja harus dikasih tau!” — adalah keluhan terbanyak yang saya dengar dari klien-klien dan teman-teman saya.

Padahal, dalam hubungan intim, komunikasi adalah kunci.

Gunung berapi sekalipun, ada kalanya meluap dan ada kalanya tenang.

Romantisme dan erotisme dalam pernikahan, adalah sesuatu yang harus diupayakan, bukan hanya diharapkan akan selalu ada.

Sebagai psikolog maupun sahabat, saya tidak bisa setiap saat terjun mencampuri komunikasi atau aksi-reaksi pada klien atau teman saya. Banyak pasangan yang masih berfokus pada tujuan salling memiliki, tapi lupa untuk saling menjaga perasaan bahkan gairah untuk selalu saling membahagiakan.

Ketika ‘kepemilikan’ atas komitmen hubungan hanya menjadi tujuan utama, pemeliharaan hubungan itu sendiri akan terasa semu.

Seperti kisah Dev dan Ivon yang masih bersama hingga saat ini hanya secara legal karena biaya perceraian, pencitraan dalam status sosial, rasa malu keluarga besar, hingga kebutuhan peran orang-tua terhadap anak semata wayang mereka— tidak membuat mereka tetap ‘memiliki’ dalam kasih dan kebahagiaan.

Di setiap permasalahan hubungan, selalu ada 3 versi.

Versi istri, versi suami, dan yang sebenarnya terjadi.

Untuk itu saya sangat menyarankan bagi pasangan yang membutuhkan konseling, lakukan ‘couple therapy’ dengan adil.

Masing-masing memiliki hak bicara, kesempatan membela, dan kewajiban untuk bertanggung jawab atas komitmen sebuah hubungan.

Cinta yang tulus, tidak akan menjadi ‘makan hati’.

—Let

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *