Mengenal Serka Badjuri, Sosok Pahlawan Pakisaji Malang

Indonewsdaily.com, Malang- Warga Kecamatan Pakisaji mungkin hanya sebagian kecil yang mengenal sosok Serka Badjuri salah satu tentara dari Tentara Hizbullah. Bahkan beliau merupakan seorang pahlawan yang berjasa mengusir Belanda saat Agresi Militer 1 dan 2 pada tahun 1947 hingga 1948.

Pada masa itu, Belanda menduduki Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji dan ingin mempertahankan badan usaha Pabrik Gula Kebonagung. Tentara Belanda melakukan operasi untuk membunuh tentara-tentara atau masyarakat yang menolak keinginan tentara Belanda untuk menduduki Pakisaji.

Operasi keliling pun digalakkan di sekitar Kecamatan Pakisaji. Biasanya waktu pagi hingga pagi lagi ada saja tentara Indonesia dan masyarakat yang dibunuh.

Nah saat operasi ini, Badjuri yang berpawakan gagah dan terkenal akan bulu tebal didadanya selalu mengamankan masyarakat di desa yang merupakan target operasi. Hal itu disampaikan saksi hidup perjuangan Badjuri, yakni Karmuji Wicaksono (79), Minggu (15/7/2021).

“Bahkan dulu saya pernah digendong pas umur 6 tahun sama pak Badjuri. Saya ingat betul. Saya dibawa ke tempat pengungsian,” kata mantan Kades Pakisaji tahun 1990 sampai 1999.

Badjuri, lanjut Karmuji, membawa warga desa yang menjadi target operasi ke sebuah hutan. Di hutan tersebut warga dikelompokkan ke sebuah pagar dan ditutupi oleh tanaman.

“Ya agar tentara Belanda gak tahu kalau disitu ada warga,” kata dia.

Badjuri pun selama aksinya tidak pernah diketahui oleh tentara Belanda. Dia selama beroperasi tidak memakai seragam. Dia terkenal memakai kaos polos bewarna hitam dan sarung yang diselempangkan di kaosnya.

“Jadi tidak pernah tahu Belanda itu. Dia operasinya diam-diam memang,” tutur dia.

Badjuri mengetahui rencana tentara Belanda menjadi target operasi adalah dari mata-matanya. Mata-matanya itu salah satunya adalah ayahanda dari Karmuji.

“Iya bapak saya salah satunya. Dulu kerja di kantor Belanda. Lah bapak saya itu kadang dengar mau operasi di mana dan lalu sepedaan memberitahu tentara begitu,” kata dia.

Namun upaya Badjuri pun kadang mempunyai hambatan. Hambatan tersebut adalah Belanda ternyata mempunyai mata-mata.

Mata-matanya tersebut adalah Kades Pakisaji waktu itu, Yahmoen. Yahmoen menjadi mata-mata Belanda karena, kata Karmuji, ingin memperkaya diri sendiri.

“Nah mbah Yahmoen itu memberitahu mata-mata begitu. Kades sini dulu. Dia memberitahu keberadaan tentara Indonesia atau rakyat yang meberontak.Akhirnya dari informasi itu Belanda mampu membunuh pemberontak atau tentara Indonesia,” ujarnya.

Setiap harinya, ada saja warga Pakisaji yang hilang dan meninggal saat tentara Belanda beroperasi. Mengetahui bahwa Yahmoen adalah seorang penghianat. Badjuri bersama prajurit tentara lainnya menyusun rencana untuk membunuh Yahmoen.

“Mata-matanya di setiap desa ada. Kalau di Desa Pakisaji itu ya Pak Yahmoen. Dan akhirnya dibunuh oleh Badjuri dan tentara itu ya sekitar tahun 1947,” kata dia.

Sepeninggal Yahmoen, Belanda geram. Tentara Belanda yang bermarkas di dekat PG Kebonagung mencari siapa otak dari matinya Yahmoen. Pada pertengahan tahun 1948, pada pagi hari yang normal. Badjuri tidak mengira bahwa hari itu adalah hari terakhirnya menjadi tentara.

Dia seperti biasa sedang keliling sekitar Jalan Kauman Desa Pakisaji Kecamatan Pakisaji atau sebelah utara Pakisaji. Waktu itu, Badjuri menemukan salah satu tentara Belanda. Dalam pertarungan satu lawan satu, pria yang memiliki paras seperti orang Arab itu menang. Namun, saat detik-detik terakhir kematian tentara Belanda, terdapat suara tembakan.

“Nah jadi kan tentara itu bawa laras panjang. Itu ditembakkan. Dan dengar duar begitu. Akhirnya datanglah teman-teman tentara itu sekitar delapan sampai 10 orang,” kenang Karmuji.

Karmuji pun waktu itu mengaku, menyaksikan langsung detik-detik terakhir kematian Badjuri. 13 tembakan dari senjata tentara Belanda menghujam badan Badjuri.

“Iya say waktu itu mau potong rambut. Pagi-pagi jam 10.00 apa jam 11.00 an begitu. Dan waktu itu saya dengar ada 13 tembakan ditembak ke Pak Badjuri,” kata dia.

Badjuri yang kelahiran asli Pakisaji pun lantas waktu itu dimakamkan di belakang Masjid Besar Al-Ihsan. Dan kekinian dipindahkan ke TPU dekat Stasiun Pakisaji.

“Iya keluarganya yang meminta untuk dimakamkan di TPU dekat Stasiun Pakisaji sana,” kata bapak dua anak itu.

Terpisah, salah satu saksi hidup juga, Remin (88) mengaku sempat diajak perang melawan tentara Belanda oleh Badjuri. Waktu itu Badjuri butuh banyak tentara untuk melawan Belanda. Sebab, tentara Indonesia kalah berdasarkan teknologi senjata.

“Di Belanda itu senjata laras panjang. Lah Indonesia bambu aja. Jadi pernah itu dikumpulkan 300-an warga di sebuah hutan di Desa Pendem Pakisaji. Diajak berperang untuk melawan Belanda,” kenang bapak tiga anak itu.

Badjuri yang memiliki dua anak putri itu pun membakar semangat setiap warga Pakisaji yang rela berjuang untuk melawan Belanda.

“Ya dia bilang kita hanya punya Bambu runcing tapi hanya dengan ini bisa melawan Belanda. Wong orang Jowo itu nganggep Bambu Jowo itu sebagai hal keramat dan yakin iso ngalahkan Belanda (kan orang jawa itu menganggap bambu sebagai hal keramat dan yakin dengan hanya itu bisa mengusir Belanda),” kata dia.

Bambu rucingnya sendiri mempunyai ramuan khusus. Remin mengingat, bambu runcing sebelum digunakan perang diendapkan ke air lombok.

“Ya diendapkan ke air lombok sehari. Biar nanti ditusuk ke Belanda lukanya bisa membusuk kan pedes dan panas begitu,” kata kakek yang memiliki 13 cucu itu.

Srkitar 300-an warga yang siap melawan Belanda itu pun diarahkan untuk membunuh tentara Belanda secara diam-diam. Seperti contohnya, Remin mengatakan, pernah dia dan beberapa warga lainnya membunuh delapan tentara Belanda.

“Sore-sore waktu itu. Paman saya dikeplak sama tentara Belanda pas itu. Jadi saya dan warga lainnya langsung membunuh Belanda secara diam-diam,” kata dia.

Delapan tentara Belanda itu, cerita Remin, berada di Desa Pendem. Dia dan sejumlah warga langsung menusuk tentara Belanda satu per satu dengan bambu runcing.

“Dan pas mati, satu orang gotong satu warga Belanda dan dibuang ke sungai dan ada yang dikubur,” imbuhnya.

Remin pun mengenang, Badjuri memang berjasa besar untuk menyatukan semangat warga Pakisaji untuk memukul mundur tentara Belanda. “Dan makannya itu dijadikan monumen di Pakisaji,” kata dia.

Memang benar sekitar tahun 1954 berdirilah monumen yang menunjukan patung dari Badjuri. Monumen itu terletak di pertigaan Jalan Raya Pakisaji.

Di monumen tersebut terlihat Badjuri memegang senjata laras panjang dan mengenakan pakaian baju hijau khas tentara.

Indonewsdaily.com, Malang- Warga Kecamatan Pakisaji mungkin hanya sebagian kecil yang mengenal sosok Serka Badjuri salah satu tentara dari Tentara Hizbullah. Bahkan beliau merupakan seorang pahlawan yang berjasa mengusir Belanda saat Agresi Militer 1 dan 2 pada tahun 1947 hingga 1948.

Pada masa itu, Belanda menduduki Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji dan ingin mempertahankan badan usaha Pabrik Gula Kebonagung. Tentara Belanda melakukan operasi untuk membunuh tentara-tentara atau masyarakat yang menolak keinginan tentara Belanda untuk menduduki Pakisaji.

Operasi keliling pun digalakkan di sekitar Kecamatan Pakisaji. Biasanya waktu pagi hingga pagi lagi ada saja tentara Indonesia dan masyarakat yang dibunuh.

Nah saat operasi ini, Badjuri yang berpawakan gagah dan terkenal akan bulu tebal didadanya selalu mengamankan masyarakat di desa yang merupakan target operasi. Hal itu disampaikan saksi hidup perjuangan Badjuri, yakni Karmuji Wicaksono (79), Minggu (15/7/2021).

“Bahkan dulu saya pernah digendong pas umur 6 tahun sama pak Badjuri. Saya ingat betul. Saya dibawa ke tempat pengungsian,” kata mantan Kades Pakisaji tahun 1990 sampai 1999.

Badjuri, lanjut Karmuji, membawa warga desa yang menjadi target operasi ke sebuah hutan. Di hutan tersebut warga dikelompokkan ke sebuah pagar dan ditutupi oleh tanaman.

“Ya agar tentara Belanda gak tahu kalau disitu ada warga,” kata dia.

Badjuri pun selama aksinya tidak pernah diketahui oleh tentara Belanda. Dia selama beroperasi tidak memakai seragam. Dia terkenal memakai kaos polos bewarna hitam dan sarung yang diselempangkan di kaosnya.

“Jadi tidak pernah tahu Belanda itu. Dia operasinya diam-diam memang,” tutur dia.

Badjuri mengetahui rencana tentara Belanda menjadi target operasi adalah dari mata-matanya. Mata-matanya itu salah satunya adalah ayahanda dari Karmuji.

“Iya bapak saya salah satunya. Dulu kerja di kantor Belanda. Lah bapak saya itu kadang dengar mau operasi di mana dan lalu sepedaan memberitahu tentara begitu,” kata dia.

Namun upaya Badjuri pun kadang mempunyai hambatan. Hambatan tersebut adalah Belanda ternyata mempunyai mata-mata.

Mata-matanya tersebut adalah Kades Pakisaji waktu itu, Yahmoen. Yahmoen menjadi mata-mata Belanda karena, kata Karmuji, ingin memperkaya diri sendiri.

“Nah mbah Yahmoen itu memberitahu mata-mata begitu. Kades sini dulu. Dia memberitahu keberadaan tentara Indonesia atau rakyat yang meberontak.Akhirnya dari informasi itu Belanda mampu membunuh pemberontak atau tentara Indonesia,” ujarnya.

Setiap harinya, ada saja warga Pakisaji yang hilang dan meninggal saat tentara Belanda beroperasi. Mengetahui bahwa Yahmoen adalah seorang penghianat. Badjuri bersama prajurit tentara lainnya menyusun rencana untuk membunuh Yahmoen.

“Mata-matanya di setiap desa ada. Kalau di Desa Pakisaji itu ya Pak Yahmoen. Dan akhirnya dibunuh oleh Badjuri dan tentara itu ya sekitar tahun 1947,” kata dia.

Sepeninggal Yahmoen, Belanda geram. Tentara Belanda yang bermarkas di dekat PG Kebonagung mencari siapa otak dari matinya Yahmoen. Pada pertengahan tahun 1948, pada pagi hari yang normal. Badjuri tidak mengira bahwa hari itu adalah hari terakhirnya menjadi tentara.

Dia seperti biasa sedang keliling sekitar Jalan Kauman Desa Pakisaji Kecamatan Pakisaji atau sebelah utara Pakisaji. Waktu itu, Badjuri menemukan salah satu tentara Belanda. Dalam pertarungan satu lawan satu, pria yang memiliki paras seperti orang Arab itu menang. Namun, saat detik-detik terakhir kematian tentara Belanda, terdapat suara tembakan.

“Nah jadi kan tentara itu bawa laras panjang. Itu ditembakkan. Dan dengar duar begitu. Akhirnya datanglah teman-teman tentara itu sekitar delapan sampai 10 orang,” kenang Karmuji.

Karmuji pun waktu itu mengaku, menyaksikan langsung detik-detik terakhir kematian Badjuri. 13 tembakan dari senjata tentara Belanda menghujam badan Badjuri.

“Iya say waktu itu mau potong rambut. Pagi-pagi jam 10.00 apa jam 11.00 an begitu. Dan waktu itu saya dengar ada 13 tembakan ditembak ke Pak Badjuri,” kata dia.

Badjuri yang kelahiran asli Pakisaji pun lantas waktu itu dimakamkan di belakang Masjid Besar Al-Ihsan. Dan kekinian dipindahkan ke TPU dekat Stasiun Pakisaji.

“Iya keluarganya yang meminta untuk dimakamkan di TPU dekat Stasiun Pakisaji sana,” kata bapak dua anak itu.

Terpisah, salah satu saksi hidup juga, Remin (88) mengaku sempat diajak perang melawan tentara Belanda oleh Badjuri. Waktu itu Badjuri butuh banyak tentara untuk melawan Belanda. Sebab, tentara Indonesia kalah berdasarkan teknologi senjata.

“Di Belanda itu senjata laras panjang. Lah Indonesia bambu aja. Jadi pernah itu dikumpulkan 300-an warga di sebuah hutan di Desa Pendem Pakisaji. Diajak berperang untuk melawan Belanda,” kenang bapak tiga anak itu.

Badjuri yang memiliki dua anak putri itu pun membakar semangat setiap warga Pakisaji yang rela berjuang untuk melawan Belanda.

“Ya dia bilang kita hanya punya Bambu runcing tapi hanya dengan ini bisa melawan Belanda. Wong orang Jowo itu nganggep Bambu Jowo itu sebagai hal keramat dan yakin iso ngalahkan Belanda (kan orang jawa itu menganggap bambu sebagai hal keramat dan yakin dengan hanya itu bisa mengusir Belanda),” kata dia.

Bambu rucingnya sendiri mempunyai ramuan khusus. Remin mengingat, bambu runcing sebelum digunakan perang diendapkan ke air lombok.

“Ya diendapkan ke air lombok sehari. Biar nanti ditusuk ke Belanda lukanya bisa membusuk kan pedes dan panas begitu,” kata kakek yang memiliki 13 cucu itu.

Srkitar 300-an warga yang siap melawan Belanda itu pun diarahkan untuk membunuh tentara Belanda secara diam-diam. Seperti contohnya, Remin mengatakan, pernah dia dan beberapa warga lainnya membunuh delapan tentara Belanda.

“Sore-sore waktu itu. Paman saya dikeplak sama tentara Belanda pas itu. Jadi saya dan warga lainnya langsung membunuh Belanda secara diam-diam,” kata dia.

Delapan tentara Belanda itu, cerita Remin, berada di Desa Pendem. Dia dan sejumlah warga langsung menusuk tentara Belanda satu per satu dengan bambu runcing.

“Dan pas mati, satu orang gotong satu warga Belanda dan dibuang ke sungai dan ada yang dikubur,” imbuhnya.

Remin pun mengenang, Badjuri memang berjasa besar untuk menyatukan semangat warga Pakisaji untuk memukul mundur tentara Belanda. “Dan makannya itu dijadikan monumen di Pakisaji,” kata dia.

Memang benar sekitar tahun 1954 berdirilah monumen yang menunjukan patung dari Badjuri. Monumen itu terletak di pertigaan Jalan Raya Pakisaji.

Di monumen tersebut terlihat Badjuri memegang senjata laras panjang dan mengenakan pakaian baju hijau khas tentara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *