Opini  

100 Tahun Jenderal Hoegeng dan Momentum Hari Pahlawan 10 November

Oleh : Agustian A. Siagian, S.H.

(Alumni GMNI Malang, Ketua DPC PERADI Kabupaten Malang, Wakil Ketua GM FKPPI Kabupaten Malang, Wasekjend DPP KNPI)

Gus Dur, sosok multidimensi yang kerapkali melontarkan kritik secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, namun sarat akan unsur humornya. Karakter blak-blakan tersebut pernah beliau lakukan saat menyampaikan kritik terhadap institusi Kepolisian. Menyitir buku “Mari Tertawa Bareng Gus Dur”, menurut beliau di negeri ini hanya ada tiga polisi yang jujur. “Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng (mantan Kapolri).” Lainnya? Gus Dur hanya tersenyum. Sederhana, lucu dan sarat makna. Lantas muncul pertanyaan dasar dibalik pernyataan Gus Dur tersebut. Siapakah Polisi Hoegeng yang dimaksud oleh Gus Dur?

Polisi Hoegeng atau Jenderal Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Imam Santoso, adalah salah satu tokoh Kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-5, yakni bertugas dari tahun 1968-1971, tepatnya pada masa pemerintah Presiden Soeharto. Beliau lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, yaitu 100 tahun yang lalu dan meninggal di Jakarta pada 14 Juli 2004. Jenderal Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Imam Santoso dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai sosok polisi yang jujur, berani, dan bertanggungjawab.

Selama masa kepemimpinannya sebagai Kapolri, beliau mengemban misi menegakkan kejujuran dalam memberantas berbagai kasus seperti kasus suap dan korupsi. Demi menegakkan misi tersebut, Jenderal Hoegeng tidak segan dan tidak pandang bulu dalam menindak setiap kasus suap dan korupsi yang terjadi.  Jenderal Hoegeng sangat berbeda dengan polisi lainnya di masa itu, beliau tidak mempan disuap dan tidak pernah melakukan korupsi dengan alasan apapun. Jenderal Hoegeng memegang prinsip yang sangat kuat dalam hal ini, jujur dan anti suap ataupun korupsi. Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menerima uang suap ataupun harus mencuri uang rakyat. Prinsip ini beliau pegang teguh hingga akhir hayatnya. Prinsip ini pula yang kemudian membuat beliau menjadi seorang teladan dan tokoh penting, tidak hanya dilingkungan Kepolisian namun juga bagi seluruh bangsa ini.

Jenderal Hoegeng memiliki rentetan kisah dan kiprah yang sangat unik, mendidik dan menginspirasi masyarakat, terutama orang-orang yang memiliki jabatan di negeri ini. Kisah itu terdokumentasikan sejak beliau merintis karir sebagai seorang polisi biasa hingga berada pada pucuk pimpinan tertinggi Kepolisian. Jenderal Hoegeng bahkan pernah meminta istrinya untuk menutup toko bunga miliknya, sesaat setelah beliau dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya antisipasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara pihak yang berada dilingkungan imigrasi dengan aktivitas jual beli pada toko bunga istrinya. Terkesan sepele dan ‘aneh’. Namun jika kita melihat sedikit lebih dalam, beliau tidak ingin bahkan meskipun tanpa sengaja, memanfaatkan posisinya saat itu untuk meraih kepentingan pribadi melalui usaha istrinya.

Sepanjang perjalanan karirnya, Jenderal Hoegeng kerap ditawari uang suap oleh orang-orang yang tersandung kasus. Salah satunya adalah seorang pengusaha yang tengah tersandung kasus penyelundupan. Agar kasusnya dihentikan, maka ia berusaha menyuap Jenderal Hoegeng dengan tawaran yang tidak sedikit. Alih-alih akan menerima tawaran suap itu, beliau justru semakin gencar dengan tujuan memerangi penyelundupan, tanpa peduli siapa dibalik praktik tersebut. Jenderal Hoegeng bahkan tidak bergeming sedikitpun meski berbagai godaan dan iming-iming hadiah terus melintas didepan matanya. Beliau tetap dengan komitmennya dan tidak pernah sedikitpun menanggalkan prinsipnya hanya untuk sebuah ‘pemberian’.

Dimanapun beliau ditugaskan, prinsip jujur, anti korupsi dan anti suap pun senantiasa melekat dalam dirinya. Bahkan saat beliau mendapat perintah tugas ke Sumatera Utara pada tahun 1955. Beliau menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dalam memberantas penyelundupan dan memberantas perjudian yang sangat mengakar di daerah tersebut. Tidak berhenti disitu, beliau tidak ingin prinsip yang diyakini hanya diinsyafi seorang diri dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya sebagai polisi. Untuk itu, beliau tidak pernah jenuh mengingatkan dan memberi pesan kepada sesama rekan bertugasnya, bahwa seorang polisi jangan sampai dibeli. Sebab itu melanggar sumpah jabatan sebagai polisi Republik Indonesia. Artinya, tidak hanya sumpah yang terkorbankan, namun harga diri sebagai seorang polisi juga telah tergadaikan.

Bagi Jenderal Hoegeng, itu sama halnya dengan menghianati rakyat dan negara. Motto hidupnya yang populer dan sangat dalam “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.” tidak hanya sekedar motto hidup. Jenderal Hoegeng telah membuktikan bahwa motto itu bukan hanya penghias kata dan pemanis bibir semata, namun telah menjadi praktik hidup yang nyata bagi beliau. Dan ini mampu beliau buktikan dengan keseluruhan sepak terjangnya selama ini.

Bahkan saat menjadi Kapolri dengan pangkat Jenderal berbintang empat, beliau cukup sering terlibat dalam mengatur lalu lintas di jalanan. Bukan demi eksistensi ataupun gila puji, namun itu bagian dari penjiwaan pada pekerjaan dan pengabdiannya. Bagi Kapolri Hoegeng, seorang polisi adalah pelayan bagi masyarakat. Apapun pangkatnya, bahkan dari yang pangkat tertinggi sampai terendah pun, tugasnya adalah mengayomi dan melayani masyarakat. Tidak ada tawar menawar. Keterlibatannya dalam mengatur lalu lintas, yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang Kapolri, sesungguhnya menyimpan makna filosofis yang sangat dalam dan dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, terutama untuk seluruh polisi di negara ini. Bahwa hubungan polisi dengan masyarakat tiada relasi kuasa dan tiada strata. Bahwa sejatinya hubungan polisi dengan masyarakat adalah melindungi, mengayomi dan melayani.

Jenderal Hoegeng tidak bisa dipisahkan dalam daftar nama tokoh penting dan menginspirasi di Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, baik yang mengetahui beliau ataupun tidak, Jenderal Hoegeng adalah sosok yang berjasa untuk bangsa ini. Sebab beliau tidak hanya meninggalkan sejarah dengan catatatan luar biasa, namun juga meninggalkan legacy sebagai role model pengabdi negara yang sempurna. Dan ini merupakan warisan berharga bagi segenap masyarakat Indonesia. Siapapun dan dengan jabatan apapun, itu hanyalah alat untuk menjalankan pengabdian kepada masyarakat dan negara dengan segenap hati.

Jenderal Hoegeng namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bhayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai stadion sepakbola di kota pekalongan. Terdapat peribahasa Gajah Mati Meninggalkan Gading. Rasanya peribahasa itu selaras dengan kondisi saat ini. Dimana bangsa Indonesia hingga kini masih memperingati hari kelahiran Jenderal Hoegeng sebagai wujud penghormatan atas segala jasa beliau dalam menegakkan kebenaran.

Namun penghormatan ini kurang sebanding dengan segala jasa dan pengabdian serta prestasi beliau selama menjadi seorang Polisi. Jenderal Hoegeng tidak hanya seorang panutan dan tokoh semata, namun beliau adalah seorang Pahlawan bagi republik ini. Gelar Pahlawan begitu layak disematkan kepada beliau. Dan pada momentum Hari Pahlawan Nasional saat ini, Jenderal Hoegeng pantas diberi penghormatan setinggi-tingginya sebagai salah seorang Pahlawan Indonesia. Bukan hanya dalam kata, namun juga dalam pengakuan negara. Untuk itu, berharap besar kepada Presiden RI agar menetapkan Jenderal Hoegeng sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

 

Selamat Hari Pahlawan..!

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *