Sejarah Penetapan Hari Santri Nasional Ternyata Ada di Ponpes Babussalam

Indonewsdaily.com, Malang – Euforia penetapan Hari Santri Nasional yang diumumkan Presiden Ir. H. Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) beberapa waktu lalu terlihat di mana-mana. Terutama di kalangan pondok pesantren (ponpes) dan sekolah maupun perguruan tinggi yang berbasis agama (Islam), terlebih yang berbasis Nahdatul Ulama (NU).

7 tahun lalu, Ponpes Babussalam yang berlokasi di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, begitu riuh dengan hadirnya seorang calon presiden yang tengah melakukan kampanye. Seperti biasa, sang calon presiden dengan pakaian “kebesarannya” baju putih lengan panjang dan celana panjang warna hitam. Maka, Pondok Pesantren yang jauh dari hiruk pikuk dan gemerlapnya dunia perkotaan itulah tempat tercetus adanya Hari Santri Nasional (HSN) dan sang calon presiden pun menyetujuinya, bahkan berjanji jika memang terpilih menjadi orang nomor satu di Tanah Air, ide HSN tersebut bakal direalisasikan.

Lahirnya Hari Santri yang diperingati pada, Kamis (22/10/2015) di seluruh penjuru Nusantara itu tidak terlepas dari peran seorang kyai bernama Kyai Thoriq bin Ziyad, pengasuh Pondok Pesantren Babussalam, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Kyai Thoriq bin Ziyad yang akrab disapa Gus Thoriq, menceritakan proses lahirnya Hari Santri Nasional tersebut. Berawal pada 2009, Hari Santri Nasional dideklarasikan pada 18 Desember, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram di Pondok Pesantren Babussalam yang berada di Desa Banjarejo.

Ketika deklarasi pertama, hadir beberapa nama tokoh, yaitu Yenny Wahid, Saifullah Yusuf, dan kyai Kholil Asad Syamsul Arifin dari Situbondo. Sebenarnya, tutur Gus Thoriq, deklarator pertama Hari Santri Nasional adalah Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 RI), namun sebelum gagasan itu terwujud, Gus Dur meninggal dunia.

Dua tahun kemudian (2011), saat 1 Muharram, masih di Ponpes Babussalam, peringatan Hari Santri Nasional dihadiri oleh Anas Urbaningrum. Dan, tahun berikutnya (2012), peringatan Hari Santri dilangsungkan di Universitas Negeri Jember (Unej).

Pada 2014, Ir. H. Joko Widodo, hadir di Ponpes Babussalam. Kehadirannya sebagai calon Presiden RI pada saat itu, Ir. H. Joko Widodo berjanji bila menjadi Presiden RI, siap berjuang dan menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional dan pada tahun ini, tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden Indonesia Ir. H. Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sebagaimana kesaksian yang diutarakan oleh bapak Mustaman selaku ketua ranting PDIP kecamatan Pagelaran.

Gus Thoriq pun sebagai pencetus ide adanya Hari Satri Nasional itu mengapresiasi penetapan Hari Santri tersebut, namun menurut dia ada satu hal yang masih belum terwujud. “Keppres Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan Hari Santri, bukan Hari Santri Nasional,” tegasnya.

Ia berharap santri di seluruh Indonesia lebih diperhatikan, dihargai, dan diapresiasi sebagaimana keinginan awal Gus Thoriq bersama rekan-rekannya ketika menggagas Hari Santri Nasional.

“Kita harus bersyukur Hari Santri sudah diputuskan sebagai Hari Santri Nasional dan dari Malang inilah tempat surat pernyataan tersebut dibuat, tepatnya ketika Presiden Ir. H. Joko Widodo berkampanye pada Pemilihan Presiden 2014,” ucapnya.

Pakai Sarung Seharian Hari Santri Nasional yang ditetapkan Presiden Ir. H. Joko Widodo pada 22 Okotober, tidak hanya diperingati secara unik oleh para santri di hampir seluruh Pondok Pesantren (Ponpes) yang ada di wilayah Kota dan Kabupaten Malang, namun juga diperingati di sejumlah kampus.

Salah satu kampus yang mewajibkan mahasiswanya memakai sarung pada saat perkuliahan pada Hari Santri Nasional (HSN) itu adalah Universitas Islam Malang (Unisma). Sedangkan untuk mahasiswi dan segenap civitas akademika perempuan diwajibkan mengenakan rok (kain) panjang.

Ia mengemukakan sarung pada masa kolonial merupakan salah satu ciri khas para pejuang Tanah Air. Sarung juga merupakan simbol perlawanan bangsa Indonesia pada saat itu, yakni untuk melawan masuknya budaya dari dunia barat.

Ketika itu, bangsa penjajah mengenakan celana, sedangkan para ulama melakukan perlawanan budaya dengan menggunakan simbol sarung. Untuk mengembalikan dan menguatkan identitas santri pada Hari Santri Nasional ini, seluruh civitas akademika Unisma memakai sarung sebagai kampanye untuk mengingatkan perjuangan para ulama.

Apalagi, tepat 70 tahun lalu, bertepatan dengan Resolusi Jihad, yakni sebuah seruan yang dikumandangkan pada Nahdliyin untuk berjihad melawan penjajah dan sekutunya.

Ia mengakui kadang santri dinilai kalangan menengah ke bawah, kuper dan stigma negatif lainnya. “Kita mau menumbuhkan bahwa santri yang biasanya bersarung adalah orang-orang yang nantinya membantu mengembangkan, memajukan bahkan menyelamatkan negara, sebab karya-karya anak santri itu luar biasa,” ujarnya.

Selain di Unisma, mahasiswa di Universitas Kanjuruhan (Unikama), meski Unikama bukan perguruan tinggi yang berbasis agama (Islam), juga diwajibkan memakai sarung selama mengikuti perkuliahan untuk menghormati sekaligus memperingati Hari Santri Nasional.

Sebagai santri, tegasnya, wajib mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara. “NKRI sebagai bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara. Hal itu harus dipertahankan oleh rakyat termasuk para santri,” tuturnya.

Ia mengakui saat ini banyak aliran-aliran yang berusaha untuk menyelewengkan atau bahkan mengubah empat pilar kebangsaan yang notabene adalah hasil ijtihad para ulama dan santri dalam berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Sebagai kaum santri, di hari santri nasional ini, harus mengusung ruhul jihad yang memiliki nilai nasionalisme.

“Perubahan yang begitu maju menyebabkan sejarah tidak terbaca secara jelas. Melalui hari santri ini, saya berharap santri bisa memiliki wadah untuk mengetahui bahwa santri itu sudah ada sejak sebelum merdeka, dan untuk masyarakat umum supaya ingat bahwa kemerdekaan tidak lepas dari jasa ulama” Tutur Gus Muhamma Amin dalam sebuah wawancara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *